27 Agustus 2014

The One That Got Away (a Short Story)

Aku memarkirkan mobil  tepat di seberang jalan di salah satu kumpulan toko yang berjajar memanjang di sepanjang jalan. Aku tersenyum melihat foto yang selalu kupajang di depan mobil. Diambil tiga tahun yang lalu di hari ulang tahunku. Senyumnya yang tak pernah bisa aku lupakan, juga tatapan matanya yang dalam. Aku membuka pintu mobil dan mendaratkan sepatu flat-ku di jalanan yang berair. Baru turun hujan beberapa jam yang lalu. Uap air yang mengasap ke udara masih terlihat, bau aspal juga masih menyeruak. Aku menyisir rambutku ke belakang. Begitu aku berdiri tegap, aku tersenyum pada pegawai parkir yang sudah tua di hadapanku.

Toko yang ingin aku tuju tepat di seberang jalan. Bangunan berwarna coklat dengan dinding vintage dari kayu. Katanya disini toko kado terlengkap. Aku baru pertama kalinya kesini. Tapi kelihatanya iya. banyak sekali pengunjung terlihat dari tempat dimana aku berdiri sekarang.

Sesuatu berbunyi keras dari balik saku tas kecilku. Aaah.. aku lupa membuatnya dalam mode silent. Aku buru-buru mengangkat benda tersebut. Aku tersenyum sebelum menggeser layar ke kanan.

“Ya?”
“Siang”
“Siang” ucapku sambal tersenyum.
“Kau dimana?” suaranya terdengar berat, mungkin karena pengaruh sinyal.
“Aku tak perlu memberitahumu bukan?” ujarku bercanda.

Aku tak mungkin memberitahunya kalau aku ingin memberi kado anniversary kami yang ketiga sekalian kado untuk ulang tahunnya. Yah, memang special. Kami berpacaran tepat di hari ulang tahunnya.

“Tentu saja. Aku pacarmu sehidup semati. Masih ingat?” aku membayangkan bagaimana raut wajahnya. Aku tersenyum.

Jalanan disini masih terlihat sepi. Mungkin karena hujan. Aku tak tahu pasti. Hmmm… uap jalanan masih mengepal menusuk hidungku.

“Maaf, anda salah orang. Aku masih jomblo” aku terus menggodanya.
“Benarkah? Apa aku boleh mendaftarkan diri?” dia balik menggodaku. Aku ingin melihat wajahnya sekarang.

Aku melangkahkan kakiku ke jalan raya. Sepatuku berdecap tiap kali aku melangkah karena genangan air yang sepenuhnya belum kering. Di seberang sana, lewat telepon ini dia terus mengoceh dan aku mendengarkan. Kadang aku tersenyum sendiri. Selalu merasa bahwa aku sedang berada di awing-awang mendengarkan suaranya. Dalam hati aku terus berkata tunggu setelah kau mendapat surprise-ku. Aku ingin ini sebagai kejutan yang paling indah yang dia terima. Aku sudah merencanakannya sejak dua minggu yang lalu. Tentu saja aku tak memberitahunya. Apa artinya kejutan jika ingin diberitahu kepada orang yang ingin kita kejutkan?

Aku terus melangkah melewati jalan dengan tangan yang masih di telinga dan bibir yang terus merekahkan senyuman.  Tak jauh dari posisiku, dari sudut mata kananku aku bisa melihat benda seperti diluncurkan dengan cepat bayangannya hitam dan menghilang begitu benda itu bergerak walau hanya sepersekian detik. Sekitar lima meter kemudian aku mendengar bunyi yang memekakkan telinga. Berulang-ulang. Aku tak sempat berpindah tempat ketika bagian depan benda tersebut mengenai sisi kanan lututku begitu keras. Aku terhempas ke udara untuk beberapa detik. Tanganku terombang-ambing dan rambutku tergerai acak. Benda mungil di tanganku melenting beberapa meter dan aku masih mendengar suara aluminium yang berdenting. Mataku menutup begitu aku tergeletak menyatu dengan bumi. Kepala bagian belakangku terbentur keras. Aku tak tahu rasanya bagaimana lagi, yang aku tahu sebelum aku terhuyung, aku mendengar suara teriakan yang begitu keras dari dalam benda mungil ditanganku tadi. Bau aspal itu sekarang menyeruak bersama bau besi dari darah yang bersimbah menggenangi kepalaku.

                                                                             ***
Aku duduk di sebuah bangku taman dengan menyandarkan punggungku pada tangan kanan Billy yang memelukku dari belakang. Aku mengenakan gaun putih berbahan sifon yang simpel, dan Billy memakai kemeja hitam dengan tangan baju yang tidak dikancing. Dia tersenyum sambil menatap jauh, sementara aku menatapinya dalam. Dia tak memperhatikanku, aku yang memperhatikannya dengan sangat seksama. Aku akan merindukan raut wajah ini. Aku akan merindukan senyuman ini. Aku akan merindukan rambutnya yang disusun rapi ke kanan. Aku memperhatikan tangannya yang berada di bahuku. Aku akan merindukan urat yang menyembul dari tangan ini. Dadaku terasa sesak, seperti jantung dimasuki oleh stok udara yang berlebih.

“Hei” dia tersenyum padaku.
“Hei” balasku.
“Kau cantik”
“Kau keren” jawabku singkat.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” senyumannya tak menghilang.
“Aku tak tahu. Aku hanya ingin”

Dia membelai rambutku perlahan, menyisirnya sampai ujung. Aku membiarkannya. Sehabis itu dia mengelus pipiku. Aku menutup mata. Begitu kedua katupnya menyatu, seperti ada cairan yang mencoba merembes.

 Jangan sekarang.

“Hmmmmm” aku menghembuskan nafas dan membuka mata. Aku melihatnya dalam. Dia masih mengelus pipiku. Tatapannya tak bergeming walau angin datang berhembus yang sekarang menghempaskan rambutku ke kiri dan ke kanan. Aku menelusuri matanya sampai aku menemukan titik dimana aku tak berani untuk menelusuri lebih dalam.

“Kenapa?” dia mengulang pertanyaannya.
Aku menggelengkan kepala. Aku tak tahu inti pertanyaannya. Aku tak tahu ingin menjawab apa juga.
“Kau bahagia denganku, kan?”
Aku mengangguk.
“Lalu kenapa?”

Aku tersenyum, sekarang aku juga mengelus pipinya, dan kemudian memetik rambutnya. Aku suka melakukannya begini. Terasa damai. Rambutnya sangat halus. Aku akan merindukan rambut ini. Aku tersenyum. Dia mendekat padaku.

“Aku mencintaimu” bisiknya ke telingaku.

Kata-kata itu. Aku ingin dia mengulangnya lagi. Lagi dan lagi. Aku ingin dia mengatakannya sampai seribu kali lagi. Sekarang dia memegang kedua pipiku kuat. Tangannya sangat halus. Aku akan merindukan tangan ini.

Aku melihat guratan wajahnya yang berubah. Otot pipi yang belum pernah aku liat sebelumnya. Ekspresi yang seperti ini. 

Jangan tunjukkan padaku

Aku tersenyum. Dia harus melakukannya. Dia tak boleh seperti ini. Perlahan aku seperti mendengar musik piano yang menenangkan. Aku tahu ini. aku tahu lagunya. Lagu favoritku juga.

“Kau dengar?” kataku
Dia tak menjawab, hanya memandangiku.
“Kau tahu ini lagu kesukaanku kan?”

Dia mengangguk. Aku menyadari kami tak banyak bicara. Oh, tak butuh banyak bicara. Biar saja kami menikmati suasana ini. Berdua lebih indah. Jarang menemukan suasana yang begini untuk kencan. Aah.. biar saja aku menganggapnya kencan. Aku berdiri dan mengembangkan kedua tanganku. Aku berbalik menghadapnya. Aku berdiri sedangkan dia tetap duduk dengan biasa.

“Kau tahu?”
“Apa?” jawabnya lirih.
“Kau hal yang terindah yang pernah ada di hidupku” Dia terdiam.
“Jangan menyia-nyiakan cintaku, ya?” kataku sambil berbungkuk memegang kedua pipinya.

Dia mengangguk. Perlahan air matanya mulai deras. Bibirnya mengerut dan tak lama kemudian semua cairan itu tumpah tak berhenti. 

Jangan begini. Aku tak tega melihatmu begini. Bagaimana aku harus meninggalkanmu jika kau terus begini?

“Tolong jangan pergi” ucapnya dengan nada yang terbata-bata.
“Tetap bersamaku disini. Kau tak ingat janjimu? Apa kau tak ingin menepatinya?”

Aku tak bisa menjawabnya. Kau sudah tahu jawabannnya. Perlahan lagu itu semakin terngiang di telingaku. Liriknya semakin menguat. Aku membuka mataku. Berat. Sangat berat. Katupnya tertutup seperti dua belah sisi yang dilem. Aku berjuang. Aku mengepalkan tangan kiriku agar kedua kelopak mataku terbuka. Yah. Bagus, Anes. Sedikit lagi. Dari sedikit celah itu, samar-samar aku melihat Billy memegang tanganku yang diinfus dengan infus darah. Kepalaku terasa berat. Mungkin sekelumit selang sedang beradu disana. Dan juga puluhan lilitan perban. Dia. Dia duduk dengan putus asanya disampingku. Matanya sangat sembab. Pipinya seperti membesar. Tangannya mengepal di bibirnya menahan isakannya agar tidak terdengar keluar dan tidak terdengar memalukan. Tangannya yang satu lagi memperdengarkan mp3 dari iPhone-nya ke telingaku. Ini lagu yang kudengar tadi. Yah.. sekarang terasa sedikit tenang. Alunan lagu itu terus mengalir di telingaku.

Only know you’ve been high when you’re feeling low
Only hate the road when you missing home
Only know you love her when you let her go
and you let her go

Aku merasakan tubuhku kejang. Aku tersenyum hanya membiarkannya. Aku tak ingin berjuang lagi. Aku ingin, hanya saja aku tak sanggup berjuang lagi. Dalam hati aku ingin mengucapkan ini padanya. Tuhan tolong biarkan aku sekali saja bisa membuka mataku dengan sempurna untuk mengatakan ini padanya. Aku tak kuat. Hanya tak kuat. Aku berusaha. Tapi tetap saja aku tak kuat. Aku mendengar Billy berteriak Dokter dokter sekuat tenaga. Dia tak melepaskan tanganku. Beberapa detik kemudian aku mendengar pintu terbuka dengan keras. Beberapa derap langkah masuk dan menghempas-hempaskan dadaku dengan sengatan listrik. Beberapa kali. Berpuluh kali. Billy terisak dengan sangat kuatnya.

Aku sudah bilang jangan begini agar kau bisa melepasku pergi.

Mereka semua berhenti. Lagu di telingaku juga sudah habis. Semuanya sudah tenang sekarang. Semuanya sudah bukan apa-apa lagi sekarang. Alat berbentuk microwave di sampingku juga sudah berhenti berbunyi tiit. Sekarang bunyinya terdengar beep dengan nada yang panjang dan garis lurus yang terus bergerak.

Selamat tinggal, Billy.
Happy 3rd anniversary, baby.
Happy birthday.
And I feel sorry for your birthday gift.

Aku menutup mata. ini untuk selamanya.

Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
Cause love comes slow and it goes so fast
                                                           


0 komentar:

Posting Komentar

    Popular Posts

    The Writer

    Foto Saya
    Medan, Sumatera Utara, Indonesia
    Why dont you just look at me and say what you want about me? Think it'll be more fun to make a bound

    Followers