26 April 2014

Ritual

Seperti biasa aku selalu pulang malam dari kedai remang-remang yang ada di ujung desa. Butuh sekitar 15 menit melewati semak belukar yang terlihat menyeramkan – yang sedang kulalui sekarang – untuk sampai ke rumahku. Sarung yang tadinya menyelempang di bahuku, sekarang sudah menutupi hampir keseluruhan tubuhku. Buluku bergidik. Dalam kondisi seperti ini biasa pikiran-pikiran tak waras selalu muncul. Tentu kau tahu maksudku. Di desa seperti desa tempatku tinggal cerita-cerita mistis itu masih membudaya. Diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Siapa yang tidak tahu, bahwa dulu di hutan kecil ini pernah seorang wanita gantung diri, tepat di salah satu ranting pohon beringin yang menjorok ke jalan setapak, dimana aku sekarang berada.
Aku mempercepat langkahku, buluku semakin merinding serasa ingin meloncat keluar dari pori. Hanya derap langkahku yang terdengar sepanjang lima meter ke depan. Aku tak mau melihat ke belakang, perasaanku mulai was-was. Aku tak pernah setakut ini sebelumnya. Aku sering melewati jalan ini, tapi entah kenapa malam ini rasanya berbeda. Mungkin karena ini malam jum’at.  Aaah.. aku tak mau memikirkannya. Aku melihat lurus ke depan ketika dalam jarak sekitar delapan langkah lagi aku melihat cahaya temaram dari lampu sumbu yang selalu dinyalakan di bibir desa. Begitu sampai disana, aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Aku bisa lega sekarang.
Desa kami dalam masa pemilihan kepala desa. Biasanya dalam masa-masa seperti ini ronda malam lebih diaktifkan karena kejadian lima tahun lalu. Aku tak ingin menceritakannya, kami menyebutnya rahasia desa yang tidak boleh diceritakan pada orang luar. Kepala desa ditentukan berdasarkan musyawarah kepala keluarga, dan kegiatan rutin selalu dilakukan tengah malam di malam jumat untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi ketika masa pemilihan. Semacam ritual, yang hanya diikuti oleh orang-orang tertentu. Hanya itu yang aku tahu. Hanya itu juga yang warga desa tahu. Kami tak ingin mengungkitnya, walaupun aku memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan berjalannya ritual tersebut.
Yaah, aku ternyata tetap harus menceritakannya. Lima tahun yang lalu, ketika aku masih berumur 15 tahun, kakekku mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat. Hanya saja dia bernasib terlalu malang. Keesokan harinya pemilihan,  dia meninggal di kamarnya dengan keadaan yang sangat janggal. Sebagian tubuhnya terjungkal dari tempat tidur ke lantai, dengan lidah menjulur, dan mata yang membengkak, serasa urat2nya keluar berwarna merah mengelilingin lensa matanya. Di sisi lehernya tertancap dua pasang pagutan, sebelah kiri dan kanan. Anehnya warga desa tidak melihat itu sebagai sesuatu yang janggal, mereka hanya beranggapan bahwa ini adalah kutukan desa karena desa kami didirikan di atas tanah terlarang – katanya, yang aku sama sekali tidak mempercayainya – dan juga desa kami dikelilingi oleh tempat-tempat mistis, seperti sarangnya para roh-roh gaib. Jika kau hanya seorang awam, yang tak mengenal seluk-beluk desa, kau hanya akan dibuat merinding olehnya, karena lihat saja, desa kami memang dikelilingi hutan yang lebat yang untuk melewatinya saja bulu kudukmu sudah berdiri setinggi gedung. Sejak kejadian itulah dimulai ritual ini, sedikit untuk mengurangi kutukan desa kami. Tapi tetap saja  kejadian itu tetap terjadi setiap tahunnya ketika masa pemilihan kepala desa, dengan variasi kematian yang berbeda-beda, yang tentu saja selalu mengerikan membuat bulu bergidik. Hal ini juga yang menyebabkan desa kami dipimpin oleh kepala desa tunggal selama lima tahun terakhir ini, Pak Karsono.
Tahun ini dia mencalonkan diri lagi, bersaing dengan Pak Rusli yang notabene seorang pemuka agama. Aku selalu berpikir kenapa dia selalu memenangkan pemilihan. Aku bosan dengan dia, tapi sepertinya warga tidak menyadari hal tersebut, mereka seperti disihir. Mereka buta, tak bisa melihat. Mereka semua tuli, tak bisa mendengar.  Aku tak mau mendengar kematian yang lain lagi besok, sudah terlalu basi menurutku.
“Bagaimana? Kau sudah mempersiapkan semuanya?”
Aku mendengar derap langkah dari arah timur. Langkah mereka yang berat terdengar keras menyeret batu-batu kasar yang menyusun jalan setapak.
“Semua sudah siap. Seperti biasa. Aku menyiapkan semua yang kau minta. Mereka menunggumu untuk memulai ritual ”
Aku sontak tertarik mendengar kata ritual. Kesempatan bagiku untuk melihat bagaimana sebenarnya acara ritual malam jum’at itu dijalankan. Perasaan bangga berkelabat di dadaku jika nantinya aku berhasil menjadi satu-satunya orang desa yang mengetahui ritual itu, selain para anggota tetap yang menjalankan ritual. Aku bersembunyi di antara semak belukar yang agak tinggi. Derap langkah itu terdengar semakin mendekat. Aku menyiapkan mataku di antara lobang-lobang kecil yang terbentuk diantara daun-daun yang saling berhimpit.
         Wajah mereka berdua kini terlihat sangat jelas ketika mereka lewat tepat di hadapanku. Aku mengenal salah satu dari mereka, Pak Karsono, dengan peci hitam yang selalu dia kenakan. Dia bersama seorang wanita yang kelihatan jauh lebih tua darinya. Aku mengikuti mereka dari jauh. Desa ini cukup kecil, sehingga aku tahu mereka bergerak ke arah mana walaupun dari jarak jauh. Sepanjang perjalanan aku bertanya-tanya siapa wanita yang dia bawa itu. Aku tak pernah melihatnya muncul di desa walau hanya sekali. Wajahnya juga sangat asing. Aku tak mungkin tak mengenali orang yang tinggal disini. Aku terus bergerak mengikuti mereka, hingga mereka berhenti di salah satu rumah yang ada di penghujung desa. Rumah ini satu-satunya rumah yang ada disini.  Di bagian lain, rumah hanya berjarak sekitar satu meter-an.  Lampu sumbu terlihat menyala memenuhi ruangan. Aku mendekat sambil berjangkit agar langkahku tidak terdengar.
    Aku berdiam disisi rumah dan menempelkan wajahku di antara papan rumah sehingga tatapanku menembus dalam rumah. Disana terdapat sekitar delapan orang yang duduk melingkar. Di tengah-tengah terdapat beberapa sajian-sajian aneh, yang aku tahu hanya kemenyan yang dibakar. Seketika itu juga baunya menyerbak. Ini bau kemenyan yang selalu menjadi santapan malam kami, pikirku. Aku terus menonton dengan seksama. Pak Karsono dengan wanita itu masuk memenuhi lingkaran yang tersisa.
Sekarang mereka berpegangan tangan satu sama lain sambil memejamkan mata. Si wanita komat kamit membacakan mantra yang sepertinya berasal dari bahasa ibrani, atau apalah, aku tak tahu. Beberapa menit kemudian Pak Karsono menambahkan salah satu benda lagi ke dalam sajian yang berada di tengah. Aku bisa melihat itu beberapa helai rambut yang sudah mulai beruban. Aku syok. Pikiranku mulai tak karuan. Ritual ini nampak sangat mengerikan, tapi aku masih memperhatikan. Dia kemudian menambahkan beberapa tulang kecil – aku rasa itu tulang ayam – ke pembakaran. Aaah, baunya sangat tidak enak. Aku menutup hidungku walau tak mau melewatkan pertunjukan ini sedetikpun.
     Lama-kelamaan tangan mereka terlepas dan mulai menyerukan sesuatu secara bersamaan. Tangan mereka seperti menyembah. Naik. Turun. Naik. Turun. Ketika mereka semua diam, si wanita membaca mantra, dan yang lain mengikuti. Pak Karsono memotong rambutnya dengan pisau yang sudah berlumuran  darah dari tempurung berisi cairan yang ada di depannya, dia kemudian maju ke depan dan membakar rambutnya di tempat yang sama ketika dia membakar rambut yang pertama. Bau aneh dan menjijikkan kembali menyeruak. Kemudian dia mengeluarkan selembar foto dari sakunya. Aku kaget bukan main. Adrenalinku berpacu sangat keras. Amarahku membuncah. uratku seakan ingin tanggal dari wajahku. Aku mengepalkan tangan. Ingin rasanya aku membakar rumah ini hingga habis tak berkeping menjadi debu. Dalam sekejap itu juga si wanita tua memalingkan wajahnya padaku, seperti mengetahui keberadaanku. Dia mengunci padanganku. Aku tak bisa bergerak. Hanya saja karena keinginanku yang kuat, aku akhirnya bisa berlari sekencang-kencangnya dan membunyikan pentungan. Tak berapa lama desa tumpah menjadi tak terkendali.
                                                                                ***
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri” Aku berteriak sekencang yang kubisa, warga desa memperhatikanku dengan seksama, membentuk lingkaran yang membuatku sesak untuk bernafas.
“PAK KARSONO ITU IBLIS!”
       Wajah mereka antara percaya atau tidak. Sebagian ada yang prihatin, menggeleng-gelengkan kepala dan menganggapku gila. Aku tak peduli. Aku hanya membayangkan betapa pedihnya siksaan yang dirasakan kakekku ketika dia menerima nujum yang dibuat oleh Pak Karsono tepat pada malam seperti ini. aku hampir menitikkan air mata. tapi aku menahannya. Aku tak mau terlihat lemah. Aku ingin memperjuangkan apa yang orang-orang itu rasakan sebagai korban iblis seperti Pak Karsono. Betapa bejatnya pemimpin di negeri ini, memperbolehkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Aku berkeringat sangat deras. Suaraku semakin serak karena tak henti-henti berteriak sejak lima belas menit yang lalu.
      Tak lama kemudian aku melihat Pak Karsono muncul dari jalan setapak dari arah rumahnya, dan membuatku heran, tapi kemudian aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Kau benar-benar setan. Aku berlari ke arahnya dan berusaha melepaskan pukulanku ke wajahnya. Tapi tertahan ketika beberapa orang kembali memukuliku dan memegangi tanganku dari belakang. Mulutku mengeluarkan darah seperti busa. Tapi aku tak berhenti, aku tetap menarik tubuhku keluar dari genggaman mereka. Uratku terlihat jelas dari bahu sampai ke lengan bawahku. Aku melihat wajah para warga. Mereka hanya terdiam, menatapku miris. Sungguh orang-orang yang menyedihkan. Kalian tak tahu apa yang terjadi dan ketika aku menceritakannya kalian malah tidak percaya.  Aku tahu mereka sudah diperdaya. Aku baru menyadari bahwa orang yang memegangiku adalah orang-orang yang berada di lingkaran tadi.
“KALIAN SEMUA IBLIS!!!” ujarku keras, sambil meludahi wajah mereka satu persatu.
Aku bisa melihat Pak Karsono tersenyum picik diantara wajahnya yang dibuat sok berwibawa itu. Ya tuhan. Aku hanya ingin memukul wajahnya sekali saja. Aku tak mengapa jika aku harus masuk penjara jika harus membunuhnya.
“Tolong amankan dia!!” orang-orang ini seperti bodyguard, langsung bergerak begitu perintah itu keluar dari mulut Pak Karsono.
“Semua, tolong tenang!!!”
Pak Karsono mulai menyeruakn pidato iblis, aku tak tahan mendengarkannya. Cukup sudah berada di bawah kekangan iblisnya selama lima tahun ini.
“Ini hanya sebuah peristiwa yang sudah sering kita alami dalam masa pemilihan, tolong semuanya kondusif karena kita besok akan menghadapi hari yang lebih besar lagi untuk desa kita ini”
Lama-kelamaan suaranya mengecil hinggal akhirnya tak terdengar. Sambil mereka memboyong tubuhku yang sekarang rasanya tak berdaya, aku melihat rumah yang ada di penghujung desa itu masih bersinar remang. Aku akhirnya menitikkan air mata. Aku tak tega membayang tubuh Pak Rusli bernasib sama dengan kakekku seperti lima tahun yang lalu. Ritual itu masih berlanjut.
                                                                        ***
Aku terbangun. Kepalaku sedikit pusing. Aku mengusapnya berulang kali. Rasanya pandanganku berputar-putar dan tak fokus. Aku mencoba mengenali dimana aku berada. Aku memejamkan mataku untuk kesekian kali, dan membukanya kembali. Masih tetap sama. Tiba-tiba aku histeris dan menjadi tak terkendali. Aku berusaha mendobrak pintu yang terbuat dari kayu yang sangat keras, melemparkan semua benda-benda tak berguna yang ada di depanku. Tak berapa lama aku mendengar suara bising dari luar : Para Warga desa.
Mereka membuka pintu yang kudobrak tadi dan membiarkanku keluar. Mereka tak berbicara sedikitpun. Aku menatap wajah mereka satu persatu. Ada yang bersedih. Ada yang menatapku seakan tidak percaya. Kulihat diantara orang-orang tersebut, berdiri Pak Rusli dengan sorban yang dikalungkan ke bahunya. Aku menarik nafas panjang. Airmataku mulai menetes. Tak berapa lama aku sudah berada di pelukannya. Isakanku semakin keras.
“Semua sudah tidak apa-apa sekarang”
Aku tak mendengarkan.
Dia melepaskan pelukannya kemudian menggiringku ke suatu tempat, diikuti oleh para warga desa. Kami tiba di depan sebuah rumah yang aku kenal : Rumah Pak Karsono. Disana, berkumpul semua warga dan aku mendengar isak tangis yang lebih keras dari isak tangisku. Aku dan Pak Rusli menerobos kerumunan. Di ruangan berukuran 3x3 meter itu, berbaring tubuh yang wajahnya merah membengkak. Tak berbeda jauh dengan kondisi kakekku ketika dia meninggal : masih ada dua pagutan, kedua tangannya menekuk tajam, lidah yang menjulur, berbuih. Didalam ini serasa seperti di neraka. Berbau busuk dan gerah. Aku menutup hidungku. Dalam hatiku aku merasa sangat puas. Mataku membelalak senang melihat dia tergolek lemah, tak berdaya dan menjijikkan.  Aku keluar dari dalam rumah dan berteriak sekencang-kencangnya sambil berteriak-teriak tak jelas. Aku tak peduli pandangan warga padaku. Aku berjalan sempoyongan. Pikiranku tak karuan. Terlalu senang melihat dia meninggal dengan sadisnya. Aku terus berjalan dan berjalan. Aku tak tahu aku harus kemana. Aku hanya terus berjalan dan terus tertawa sepanjang jalan.

0 komentar:

Posting Komentar

    Popular Posts

    The Writer

    Foto Saya
    Medan, Sumatera Utara, Indonesia
    Why dont you just look at me and say what you want about me? Think it'll be more fun to make a bound

    Followers