27 Agustus 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

The One That Got Away (a Short Story)

Aku memarkirkan mobil  tepat di seberang jalan di salah satu kumpulan toko yang berjajar memanjang di sepanjang jalan. Aku tersenyum melihat foto yang selalu kupajang di depan mobil. Diambil tiga tahun yang lalu di hari ulang tahunku. Senyumnya yang tak pernah bisa aku lupakan, juga tatapan matanya yang dalam. Aku membuka pintu mobil dan mendaratkan sepatu flat-ku di jalanan yang berair. Baru turun hujan beberapa jam yang lalu. Uap air yang mengasap ke udara masih terlihat, bau aspal juga masih menyeruak. Aku menyisir rambutku ke belakang. Begitu aku berdiri tegap, aku tersenyum pada pegawai parkir yang sudah tua di hadapanku.

Toko yang ingin aku tuju tepat di seberang jalan. Bangunan berwarna coklat dengan dinding vintage dari kayu. Katanya disini toko kado terlengkap. Aku baru pertama kalinya kesini. Tapi kelihatanya iya. banyak sekali pengunjung terlihat dari tempat dimana aku berdiri sekarang.

Sesuatu berbunyi keras dari balik saku tas kecilku. Aaah.. aku lupa membuatnya dalam mode silent. Aku buru-buru mengangkat benda tersebut. Aku tersenyum sebelum menggeser layar ke kanan.

“Ya?”
“Siang”
“Siang” ucapku sambal tersenyum.
“Kau dimana?” suaranya terdengar berat, mungkin karena pengaruh sinyal.
“Aku tak perlu memberitahumu bukan?” ujarku bercanda.

Aku tak mungkin memberitahunya kalau aku ingin memberi kado anniversary kami yang ketiga sekalian kado untuk ulang tahunnya. Yah, memang special. Kami berpacaran tepat di hari ulang tahunnya.

“Tentu saja. Aku pacarmu sehidup semati. Masih ingat?” aku membayangkan bagaimana raut wajahnya. Aku tersenyum.

Jalanan disini masih terlihat sepi. Mungkin karena hujan. Aku tak tahu pasti. Hmmm… uap jalanan masih mengepal menusuk hidungku.

“Maaf, anda salah orang. Aku masih jomblo” aku terus menggodanya.
“Benarkah? Apa aku boleh mendaftarkan diri?” dia balik menggodaku. Aku ingin melihat wajahnya sekarang.

Aku melangkahkan kakiku ke jalan raya. Sepatuku berdecap tiap kali aku melangkah karena genangan air yang sepenuhnya belum kering. Di seberang sana, lewat telepon ini dia terus mengoceh dan aku mendengarkan. Kadang aku tersenyum sendiri. Selalu merasa bahwa aku sedang berada di awing-awang mendengarkan suaranya. Dalam hati aku terus berkata tunggu setelah kau mendapat surprise-ku. Aku ingin ini sebagai kejutan yang paling indah yang dia terima. Aku sudah merencanakannya sejak dua minggu yang lalu. Tentu saja aku tak memberitahunya. Apa artinya kejutan jika ingin diberitahu kepada orang yang ingin kita kejutkan?

Aku terus melangkah melewati jalan dengan tangan yang masih di telinga dan bibir yang terus merekahkan senyuman.  Tak jauh dari posisiku, dari sudut mata kananku aku bisa melihat benda seperti diluncurkan dengan cepat bayangannya hitam dan menghilang begitu benda itu bergerak walau hanya sepersekian detik. Sekitar lima meter kemudian aku mendengar bunyi yang memekakkan telinga. Berulang-ulang. Aku tak sempat berpindah tempat ketika bagian depan benda tersebut mengenai sisi kanan lututku begitu keras. Aku terhempas ke udara untuk beberapa detik. Tanganku terombang-ambing dan rambutku tergerai acak. Benda mungil di tanganku melenting beberapa meter dan aku masih mendengar suara aluminium yang berdenting. Mataku menutup begitu aku tergeletak menyatu dengan bumi. Kepala bagian belakangku terbentur keras. Aku tak tahu rasanya bagaimana lagi, yang aku tahu sebelum aku terhuyung, aku mendengar suara teriakan yang begitu keras dari dalam benda mungil ditanganku tadi. Bau aspal itu sekarang menyeruak bersama bau besi dari darah yang bersimbah menggenangi kepalaku.

                                                                             ***
Aku duduk di sebuah bangku taman dengan menyandarkan punggungku pada tangan kanan Billy yang memelukku dari belakang. Aku mengenakan gaun putih berbahan sifon yang simpel, dan Billy memakai kemeja hitam dengan tangan baju yang tidak dikancing. Dia tersenyum sambil menatap jauh, sementara aku menatapinya dalam. Dia tak memperhatikanku, aku yang memperhatikannya dengan sangat seksama. Aku akan merindukan raut wajah ini. Aku akan merindukan senyuman ini. Aku akan merindukan rambutnya yang disusun rapi ke kanan. Aku memperhatikan tangannya yang berada di bahuku. Aku akan merindukan urat yang menyembul dari tangan ini. Dadaku terasa sesak, seperti jantung dimasuki oleh stok udara yang berlebih.

“Hei” dia tersenyum padaku.
“Hei” balasku.
“Kau cantik”
“Kau keren” jawabku singkat.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” senyumannya tak menghilang.
“Aku tak tahu. Aku hanya ingin”

Dia membelai rambutku perlahan, menyisirnya sampai ujung. Aku membiarkannya. Sehabis itu dia mengelus pipiku. Aku menutup mata. Begitu kedua katupnya menyatu, seperti ada cairan yang mencoba merembes.

 Jangan sekarang.

“Hmmmmm” aku menghembuskan nafas dan membuka mata. Aku melihatnya dalam. Dia masih mengelus pipiku. Tatapannya tak bergeming walau angin datang berhembus yang sekarang menghempaskan rambutku ke kiri dan ke kanan. Aku menelusuri matanya sampai aku menemukan titik dimana aku tak berani untuk menelusuri lebih dalam.

“Kenapa?” dia mengulang pertanyaannya.
Aku menggelengkan kepala. Aku tak tahu inti pertanyaannya. Aku tak tahu ingin menjawab apa juga.
“Kau bahagia denganku, kan?”
Aku mengangguk.
“Lalu kenapa?”

Aku tersenyum, sekarang aku juga mengelus pipinya, dan kemudian memetik rambutnya. Aku suka melakukannya begini. Terasa damai. Rambutnya sangat halus. Aku akan merindukan rambut ini. Aku tersenyum. Dia mendekat padaku.

“Aku mencintaimu” bisiknya ke telingaku.

Kata-kata itu. Aku ingin dia mengulangnya lagi. Lagi dan lagi. Aku ingin dia mengatakannya sampai seribu kali lagi. Sekarang dia memegang kedua pipiku kuat. Tangannya sangat halus. Aku akan merindukan tangan ini.

Aku melihat guratan wajahnya yang berubah. Otot pipi yang belum pernah aku liat sebelumnya. Ekspresi yang seperti ini. 

Jangan tunjukkan padaku

Aku tersenyum. Dia harus melakukannya. Dia tak boleh seperti ini. Perlahan aku seperti mendengar musik piano yang menenangkan. Aku tahu ini. aku tahu lagunya. Lagu favoritku juga.

“Kau dengar?” kataku
Dia tak menjawab, hanya memandangiku.
“Kau tahu ini lagu kesukaanku kan?”

Dia mengangguk. Aku menyadari kami tak banyak bicara. Oh, tak butuh banyak bicara. Biar saja kami menikmati suasana ini. Berdua lebih indah. Jarang menemukan suasana yang begini untuk kencan. Aah.. biar saja aku menganggapnya kencan. Aku berdiri dan mengembangkan kedua tanganku. Aku berbalik menghadapnya. Aku berdiri sedangkan dia tetap duduk dengan biasa.

“Kau tahu?”
“Apa?” jawabnya lirih.
“Kau hal yang terindah yang pernah ada di hidupku” Dia terdiam.
“Jangan menyia-nyiakan cintaku, ya?” kataku sambil berbungkuk memegang kedua pipinya.

Dia mengangguk. Perlahan air matanya mulai deras. Bibirnya mengerut dan tak lama kemudian semua cairan itu tumpah tak berhenti. 

Jangan begini. Aku tak tega melihatmu begini. Bagaimana aku harus meninggalkanmu jika kau terus begini?

“Tolong jangan pergi” ucapnya dengan nada yang terbata-bata.
“Tetap bersamaku disini. Kau tak ingat janjimu? Apa kau tak ingin menepatinya?”

Aku tak bisa menjawabnya. Kau sudah tahu jawabannnya. Perlahan lagu itu semakin terngiang di telingaku. Liriknya semakin menguat. Aku membuka mataku. Berat. Sangat berat. Katupnya tertutup seperti dua belah sisi yang dilem. Aku berjuang. Aku mengepalkan tangan kiriku agar kedua kelopak mataku terbuka. Yah. Bagus, Anes. Sedikit lagi. Dari sedikit celah itu, samar-samar aku melihat Billy memegang tanganku yang diinfus dengan infus darah. Kepalaku terasa berat. Mungkin sekelumit selang sedang beradu disana. Dan juga puluhan lilitan perban. Dia. Dia duduk dengan putus asanya disampingku. Matanya sangat sembab. Pipinya seperti membesar. Tangannya mengepal di bibirnya menahan isakannya agar tidak terdengar keluar dan tidak terdengar memalukan. Tangannya yang satu lagi memperdengarkan mp3 dari iPhone-nya ke telingaku. Ini lagu yang kudengar tadi. Yah.. sekarang terasa sedikit tenang. Alunan lagu itu terus mengalir di telingaku.

Only know you’ve been high when you’re feeling low
Only hate the road when you missing home
Only know you love her when you let her go
and you let her go

Aku merasakan tubuhku kejang. Aku tersenyum hanya membiarkannya. Aku tak ingin berjuang lagi. Aku ingin, hanya saja aku tak sanggup berjuang lagi. Dalam hati aku ingin mengucapkan ini padanya. Tuhan tolong biarkan aku sekali saja bisa membuka mataku dengan sempurna untuk mengatakan ini padanya. Aku tak kuat. Hanya tak kuat. Aku berusaha. Tapi tetap saja aku tak kuat. Aku mendengar Billy berteriak Dokter dokter sekuat tenaga. Dia tak melepaskan tanganku. Beberapa detik kemudian aku mendengar pintu terbuka dengan keras. Beberapa derap langkah masuk dan menghempas-hempaskan dadaku dengan sengatan listrik. Beberapa kali. Berpuluh kali. Billy terisak dengan sangat kuatnya.

Aku sudah bilang jangan begini agar kau bisa melepasku pergi.

Mereka semua berhenti. Lagu di telingaku juga sudah habis. Semuanya sudah tenang sekarang. Semuanya sudah bukan apa-apa lagi sekarang. Alat berbentuk microwave di sampingku juga sudah berhenti berbunyi tiit. Sekarang bunyinya terdengar beep dengan nada yang panjang dan garis lurus yang terus bergerak.

Selamat tinggal, Billy.
Happy 3rd anniversary, baby.
Happy birthday.
And I feel sorry for your birthday gift.

Aku menutup mata. ini untuk selamanya.

Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
Cause love comes slow and it goes so fast
                                                           


08 Mei 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

The Untold Side of Fitiya

Fitiya duduk sambil memegang kedua pahanya di depan meja rias. Pahanya yang hanya ditutup oleh lingerie tipis, tampak berlinang ketika cahaya lampu kamar yang temarang menimpa. Hari ini tentu saja hari kebahagiannya. Hari ini, Alby resmi menjadi seseorang yang melindunginya, mengasihinya, menaunginya, dan menjadi segalanya bagi Fitiya.
Mereka bertemu dua tahun lalu saat sama-sama menempuh pendidikan S2 di luar negeri. Bayangkan saja betapa senangnya mendapatkan teman satu negara ketika kamu harus berjuang dengan segala sesuatu yang baru di negeri orang. Kemana-mana mereka berdua, layaknya seperti sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Tidak semudah itu untuk bisa membujuk Fitiya. Butuh beberapa bulan bagi Alby hingga akhirnya Fitiya mengataka ‘Iya’ dan resepsi pada hari inipun terjadi. Fitiya terlalu takut untuk berkomitmen. Tapi lihatlah, seharian mereka tampak bahagia, tak ada raut penyesalan di wajah Fitiya dari sejak tadi pagi hingga semua resepsi itu selesai, yang ada hanya perasaan senang dan haru. Setelah semua resepsi pernikahan yang sangat menyita waktu dan tenaga, akhirnya mereka memiliki waktu berdua sekarang. Tanpa diganggu oleh siapapun.
Perlahan Fitiya meremas kedua pahanya. Cukup lama dia hanya memandangi wajahnya di cermin. Kotak make-up di sisi meja dibiarkannya terbuka tanpa disentuh. Tangannya sedikit gemeteran. Beberapa kali dia membalik badan, memperbaiki letak lingerie di sekitar dadanya, serta memandangi kamar mandi berlapiskan kaca berbentuk tabung tempat suaminya sekarang lagi membersihkan diri. Terdengar percikan air yang memacu nafas dan adrenalinenya. Samar-samar, dia bisa melihat siluet tubuh kekar berwarna putih kecoklatan. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lehernya tertarik oleh otot-otot yang berkontraksi. Tegang. Intens. Kaku. Jarinya semakin kuat mengekang daging di pahanya. Sang suami sekarang sedang membersihkan rambutnya, menyapunya ke belakang seiringnya dengan tirisnya air dari shower. Gundukan otot di lengannya terlihat berbentuk, samar. Fitiya menelan ludah untuk kesekian kalinya.
Dia membalik tubuhnya menghadap cermin. Diliriknya kotak make-up terlantar tadi dan memungut lipstick dari dalamnya. Tak butuh waktu lama bagi Fitiya untuk mengaplikasikannya. Begitu selesai, dia melanjutkan riasan tipis di wajahnya. Perlahan dia mengambil botol parfum dan menyemprotkannya tiga kali ke lehernya, kemudian ke pergelangan tangan. Seketika itu juga aroma memikat memenuhi seluruh ruangan. Selang beberapa saat, dia mendengar tabung kaca itu terbuka. Dia terkesiap, tapi tidak menoleh ke belakang. Fitiya hanya memperbaiki cara duduknya sambil terus menatapi dirinya sendiri di dalam kaca.
“Hei…” tiba-tiba Alby datang dan langsung memeluknya dari belakang. Dadanya yang bidang langsung menyetrum punggung Fitiya yang masih tertutup lingerie. Belum semput Fitiya memberikan jawaban ‘Hei’, bibir Alby yang tipis dan renyah itu langsung menyerbu leher Fitiya. Dia menutup matanya.menikmati setiap sentuhan yang ada. Dia membukakan lehernya lebih lebar.
“Kau menunggu lama?”
“Oh.. tidak. Untukmu aku siap untuk menunggu sampai berapa lama”
“Oh..” Alby tak melepaskan pelukannya. “Kau sangat harum sekali”
“Dan kau sangat menggoda sekali menutupi tubuhku dengan tubuhmu yang setengah telanjang itu”
Alby memperhatikan tubuhnya di cermin. Rambutnya masih sangat basah dan juga bintik-bintik air masih menempel di pundaknya.
“Kau sudah bisa menggodaku sekarang”
“Kau suamiku” ujar Fitiya singkat.
“Kau suka?”
“Apanya?”
“Aku? Dalam keadaan begini?”
Fitiya ingin mengatakan iya, tapi dia masih terlalu kaku untuk mengucapkannya. Semua emosinya perlahan demi perlahan naik ke batang tenggorokannya, serasa semuanya ingin keluar seperti muntahan yang tak habis-habis.
“Kau Istriku sekarang”
“Ya. Aku tahu itu” ucapnya.
Alby tak membalas. Dia hanya menyentuh dagu Fitiya yang mungil dan mengarahkannya tepat di depan wajahnya.
“Aku mencintaimu”
Fitiya tak ingin membalasnya. Dia hanya ingin semuanya berlanjut seperti seharusnya. Dia membiarkan Alby perlahan demi perlahan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan di malam seperti ini. Malam yang sudah sangat sunyi dan sepi, malam paling indah bagi sepasang pengantin baru. Ketika lapisan kulit luar itu menyentuh bibirnya. Dia merasakan sensasi yang sangat luar biasa. Tubuhnya mengejang, tapi dia merasakan kenikmatan. Sel-selnya membesar dua kali lipat. Dan transmisi neurotransmitter di syarafnya meningkat. dia menjambak rambut Alby yang masih sedikit basah dengan perlahan. Alby membiarkannya dan menuntutnya.
Fitiya terbaring dengan lingerie itu masih melekat di badannya. Sekarang tubunya bergetar keras. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Bingung. Serba salah. Sesak nafas. Sensasi ini terlalu besar untuk dia kontrol. Raut wajahnya berubah seketika ketika otot-otot dalamnya berkontraksi membentuk wajah yang ketakutan. Fitiya meremas sprei putih sekuat tenaga. Ketegangan yang mulanya berada di lehernya merambah keseluruh tubuh. Dia mencoba untuk menyembunyikan begitu posisi alby sekarang berada di atasnya. Dia menutup matanya. Alby tak melakukan apa-apa. Tangannya bergetar sangat keras sekarang. Tenang. Tenang. Tenang. Batinnya berulang kali membisikkan kata kata tersebut. Menyentuh sisi pakaian tipis itu dan berusaha untuk mencampakkanya. Di saat itu Fitiya membuka matanya, matanya melotot sebesar bola dan urat-uratnya terlihat jelas. Dia menjerit tak karuan, tubuhnya mengejang ke kiri dan ke kanan seperti orang yang di perkosa.
                                                                        ***
“Kau kenapa?” Alby menghentikan aktifitasnya dan menatap dalam ke bola mata Fitiya yang tampak jelas ketakutan. Fitiya menutup dadanya dengan menyeret sisi lingerie berenda itu. Dia beranjak dari tempat tidur dan menyudut ke tepi ruangan, tepatnya di depan kaca yang menjadi sekat ruangan dengan lingkungan luar. Tangannya gemetaran, bola matanya liar, bibirnya tak bisa mengatup menjadi satu.
“Apa yang kau lakukan?” nada suaranya bergetar seperti senar. Keseluruhan badannya berkeringat. Satu persatu butirannya mengucur melewati dahinya yang pucat.
“Apa maksudmu?” Alby beranjak dari tempat tidur. “Kau mengetuk pintu kamarku tiba-tiba ditengah malam begini. Kau tak sadar?” Alby sekarang berjalan ke arah Fitiya dengan celana pendek yang dia kenakan. Kekasihnya itu terlihat menyedihkan.
“Aku tak tahu!”
“Apa kau tidur sambil berjalan?”
“Tidak, apa yang kurasakan terasa sangat nyata. Kau… aku….. Kau dan aku,… “ Fitiya tak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia terduduk lemas dengan jari yang gemetaran melekat di ujung bibir.
“Its Okay. Tidak apa-apa. Kau bisa tenang sekarang”
Fitiya tak berkata apa-apa. Suasana berubah hening.
“Apa kau?... Kau telah… maksudku apa kau dan aku….. “ dia  mengusap wajahnya. “Apa terjadi sesuatu antara kau dan aku?”
Alby sontak kaget kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Fitiya.
“Tidak, Fitiya. Apa yang kau pikirkan? Aku tak pernah menyentuhmu sedikitpun. Aku menghargaimu, jangan sekalipun kau meragukan hal itu”
“Jadi?”
“Kau sempat merayuku begitu sampai disini. Aku akui aku sempat tertarik  tapi kau tertidur ketika aku meninggalkanmu mandi”
Mandi. Mandi. Mandi. Kamar mandi. Dia ingat sekarang. Bayangannya itu tidak sepenuhnya hanya mimpi. Fitiya menutup matanya dan mencoba untuk mengetahui lebih dalam. Tapi yang dia rasakan hanya serangkaian denyutan yang membabi buta mneyerang kepalanya.
“Arrgh…” erangnya.
“Kau kenapa?”
Sekarang pandangannya berputar-putar. Putarannya membulat ke dalam dan menuju pada satu titik hingga semuanya lenyap.
                                                                        ***
Fitiya bangun begitu alaram berbunyi memecah keheningan subuh. Alby masih tertidur dengan pulasnya disampingnya. Diamatinya wajah suaminya itu. Matanya sayu ketika tertidur, bahkan dengan kondisi seperti ini, di mata Fitiya Alby masih seperti sesosok malaikat yang  turun dari langit dan menjemputnya ke surga. Dia mendekatkan bibirnya dan mencium kening Alby. Alby terbangun begitu menyadari bibir itu menempel di keningnya.
“Selamat pagi”
“Pagi, Hubbie!”
Mereka terdiam. Berbaring, saling bertatapan dan kepala yang menempel satu sama lain.
“Maafkan aku”  ucap Fitiya sambil mengelus pipi Alby.
“Kita bisa melakukannya lain kali. Yang penting hanya satu, kau tetap istriku dan aku tetap mencintaimu” sekarang gantian Alby yang mencium kening istrinya.
“Tapi tadi malam itu malam pertama kita…” Fitiya diam sesaat “Dan aku menghancurkannya”
“Sssst….” Alby menempelkan telunjuknya di bibir Fitiya.
“Jangan berkata apa-apa lagi. Suasana seperti ini sangat menyenangkan” Alby mendekap Fitiya ke dadanya. “Kita seperti ini saja. Aku menyukainya”
Fitiya melekatkan telapak tangannya ke dada Alby. Elusan tangan Alby di atas rambut acaknya membawa semangat pagi. Fitiya bisa merasakan ketulusan yang dalam dari apa yang di perolah sekarang ini : Pelukan pagi dari sang suami. Fitiya menyadari kenapa alby menginginkan mereka tetap dalam keadaan seperti ini.
“Aku mencintaimu, Fitiya”
Fitiya menatap mata Alby.
“Dan jika kau tak bisa memperbaiki dirimu tentang hal itu, aku bisa memperbaikimu dengan semua yang aku punya”
Fitiya meneteskan airmata. Dia mulai membenci dirinya dengan ketakutannya itu. Dia membenci phobianya. Dia rusak. Fitiya sadar kalau dia rusak. Dia tak seharusnya membiarkan ketakutan itu menggerogotinya perlahan demi perlahan, sedikit demi sedikit. Lihat apa yang dia timbulkan. Alby menderita karenanya, dan jika ini tetap berlangsung, kebahagian apa yang akan dia berikan pada Alby jika dia sendiri tidak bisa memberikan dirinya sepenuhnya? Alby tak akan bahagia. Alby tak akan bahagia. Alby mneginginkan dirinya keseluruhannya, bukan setengah-setengah seperti ini. Alby tidak hanya menginginkan hatinya, dia menginginkan hal lainnya. Air matanya semakin deras, tapi dia hanya diam tak terisak. Mungkin tertelan masuk ke dalam jiwanya yang malang itu. Bukan seperti ini tumah tangga yang dia inginkan, tapi itu semua terjadi juga karena dirinya.
“Kita bisa memperbaikimu” percakapan pagi itu selesai sampai disitu. Tak ada kata yang terucap lagi dari mulut mereka. Matahari pagi mulai memancarkan sinar dan masuk kedalam ruangan melalui celah kaca. Merekatak peduli. Mereka tetap dalam keadaan mereka : dalam balutan selimut dan menghangatkan satu sama lain dengan pelukan mereka.
                                                                        ***
Dia berjalan sendiri di lorong kampus sambil terus berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam. Mahasiswa-mahasiswa lain berlalu lalang tak menghiraukannya. Banyak yang bercengkrama satu sama lain di depan loker masing-masing. Fitiya tak peduli. Dia hanya mematung di depan lokernya dan tak membuka.perlahan dari ujung barat Alby muncul dengan jaket varsity yang biasa dia kenakan.Tasnya menggantung di bahu kanannya. Dia memang sempurna. Fitiya memandangin terus menerus, sampai Alby sampai di hadapannya. Mata mereka terikat. Dengan tinggi yang hampir sama, visualisasi pandangan itu seperti menghantarkan aliran listrik bolak balik.
“Kau tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja” jawab Fitiya. Sekarang semuanya baik-baik saja.
“Kau tidak memikirkan kejadian tadi malam,kan?”
Fitiya menggeleng.
“Kau percaya padaku?” ujar Alby dengan raut wajah yang sulit dideskripsikan.
“Yah, kau pacarku, satu-satunya pacarku dan akan selalu begitu.”
“Jadi kau siap menerima ini?”
 Alby mengeluarkan kotak merah dari dalam sakunya. Fitiya tertegun. Dia menelan ludahnya hingga suaranya terdengar. Perasaannya bercampur aduk.
“Kau mau menikah denganku?”
Fitiya diam. Dia tak langsung menjawab iya. dia tak bisa merespon jiwanya terlalu banyak aksi disana.
“Kau… kau … kau serius?”
“Yah”
“Bagaimana dengan kuliah?”
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu”
Kata ‘iya’ itu tertohok di tenggorokannya walaupun ia ingin sekali mengatakannya. Seketika itu juga bayangan mimpi-mimpinya, ketakutannya, phobianya menguasai dirinya. Fitiya rusak. Dia menyadarinya. Dia tahu dia tak akan bisa membahagiakan Alby,dan dia tak ingin mimpinya itu menjadi kenyataan. Dia  berlari sekencang mungkin meninggalkan Alby tanpa jawaban. Isak tangisnya terdengar sangat keras, dan terlihat sangat deras.



*) Coitophobia atau Genophobia adalah salah satu jenis phobia yang bisa dialami oleh laki-laki atau perempuan dimana penderita mengalami ketakutan berlebihan terhadap hubungan badan atau seksual.

26 April 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Ritual

Seperti biasa aku selalu pulang malam dari kedai remang-remang yang ada di ujung desa. Butuh sekitar 15 menit melewati semak belukar yang terlihat menyeramkan – yang sedang kulalui sekarang – untuk sampai ke rumahku. Sarung yang tadinya menyelempang di bahuku, sekarang sudah menutupi hampir keseluruhan tubuhku. Buluku bergidik. Dalam kondisi seperti ini biasa pikiran-pikiran tak waras selalu muncul. Tentu kau tahu maksudku. Di desa seperti desa tempatku tinggal cerita-cerita mistis itu masih membudaya. Diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Siapa yang tidak tahu, bahwa dulu di hutan kecil ini pernah seorang wanita gantung diri, tepat di salah satu ranting pohon beringin yang menjorok ke jalan setapak, dimana aku sekarang berada.
Aku mempercepat langkahku, buluku semakin merinding serasa ingin meloncat keluar dari pori. Hanya derap langkahku yang terdengar sepanjang lima meter ke depan. Aku tak mau melihat ke belakang, perasaanku mulai was-was. Aku tak pernah setakut ini sebelumnya. Aku sering melewati jalan ini, tapi entah kenapa malam ini rasanya berbeda. Mungkin karena ini malam jum’at.  Aaah.. aku tak mau memikirkannya. Aku melihat lurus ke depan ketika dalam jarak sekitar delapan langkah lagi aku melihat cahaya temaram dari lampu sumbu yang selalu dinyalakan di bibir desa. Begitu sampai disana, aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Aku bisa lega sekarang.
Desa kami dalam masa pemilihan kepala desa. Biasanya dalam masa-masa seperti ini ronda malam lebih diaktifkan karena kejadian lima tahun lalu. Aku tak ingin menceritakannya, kami menyebutnya rahasia desa yang tidak boleh diceritakan pada orang luar. Kepala desa ditentukan berdasarkan musyawarah kepala keluarga, dan kegiatan rutin selalu dilakukan tengah malam di malam jumat untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi ketika masa pemilihan. Semacam ritual, yang hanya diikuti oleh orang-orang tertentu. Hanya itu yang aku tahu. Hanya itu juga yang warga desa tahu. Kami tak ingin mengungkitnya, walaupun aku memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan berjalannya ritual tersebut.
Yaah, aku ternyata tetap harus menceritakannya. Lima tahun yang lalu, ketika aku masih berumur 15 tahun, kakekku mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat. Hanya saja dia bernasib terlalu malang. Keesokan harinya pemilihan,  dia meninggal di kamarnya dengan keadaan yang sangat janggal. Sebagian tubuhnya terjungkal dari tempat tidur ke lantai, dengan lidah menjulur, dan mata yang membengkak, serasa urat2nya keluar berwarna merah mengelilingin lensa matanya. Di sisi lehernya tertancap dua pasang pagutan, sebelah kiri dan kanan. Anehnya warga desa tidak melihat itu sebagai sesuatu yang janggal, mereka hanya beranggapan bahwa ini adalah kutukan desa karena desa kami didirikan di atas tanah terlarang – katanya, yang aku sama sekali tidak mempercayainya – dan juga desa kami dikelilingi oleh tempat-tempat mistis, seperti sarangnya para roh-roh gaib. Jika kau hanya seorang awam, yang tak mengenal seluk-beluk desa, kau hanya akan dibuat merinding olehnya, karena lihat saja, desa kami memang dikelilingi hutan yang lebat yang untuk melewatinya saja bulu kudukmu sudah berdiri setinggi gedung. Sejak kejadian itulah dimulai ritual ini, sedikit untuk mengurangi kutukan desa kami. Tapi tetap saja  kejadian itu tetap terjadi setiap tahunnya ketika masa pemilihan kepala desa, dengan variasi kematian yang berbeda-beda, yang tentu saja selalu mengerikan membuat bulu bergidik. Hal ini juga yang menyebabkan desa kami dipimpin oleh kepala desa tunggal selama lima tahun terakhir ini, Pak Karsono.
Tahun ini dia mencalonkan diri lagi, bersaing dengan Pak Rusli yang notabene seorang pemuka agama. Aku selalu berpikir kenapa dia selalu memenangkan pemilihan. Aku bosan dengan dia, tapi sepertinya warga tidak menyadari hal tersebut, mereka seperti disihir. Mereka buta, tak bisa melihat. Mereka semua tuli, tak bisa mendengar.  Aku tak mau mendengar kematian yang lain lagi besok, sudah terlalu basi menurutku.
“Bagaimana? Kau sudah mempersiapkan semuanya?”
Aku mendengar derap langkah dari arah timur. Langkah mereka yang berat terdengar keras menyeret batu-batu kasar yang menyusun jalan setapak.
“Semua sudah siap. Seperti biasa. Aku menyiapkan semua yang kau minta. Mereka menunggumu untuk memulai ritual ”
Aku sontak tertarik mendengar kata ritual. Kesempatan bagiku untuk melihat bagaimana sebenarnya acara ritual malam jum’at itu dijalankan. Perasaan bangga berkelabat di dadaku jika nantinya aku berhasil menjadi satu-satunya orang desa yang mengetahui ritual itu, selain para anggota tetap yang menjalankan ritual. Aku bersembunyi di antara semak belukar yang agak tinggi. Derap langkah itu terdengar semakin mendekat. Aku menyiapkan mataku di antara lobang-lobang kecil yang terbentuk diantara daun-daun yang saling berhimpit.
         Wajah mereka berdua kini terlihat sangat jelas ketika mereka lewat tepat di hadapanku. Aku mengenal salah satu dari mereka, Pak Karsono, dengan peci hitam yang selalu dia kenakan. Dia bersama seorang wanita yang kelihatan jauh lebih tua darinya. Aku mengikuti mereka dari jauh. Desa ini cukup kecil, sehingga aku tahu mereka bergerak ke arah mana walaupun dari jarak jauh. Sepanjang perjalanan aku bertanya-tanya siapa wanita yang dia bawa itu. Aku tak pernah melihatnya muncul di desa walau hanya sekali. Wajahnya juga sangat asing. Aku tak mungkin tak mengenali orang yang tinggal disini. Aku terus bergerak mengikuti mereka, hingga mereka berhenti di salah satu rumah yang ada di penghujung desa. Rumah ini satu-satunya rumah yang ada disini.  Di bagian lain, rumah hanya berjarak sekitar satu meter-an.  Lampu sumbu terlihat menyala memenuhi ruangan. Aku mendekat sambil berjangkit agar langkahku tidak terdengar.
    Aku berdiam disisi rumah dan menempelkan wajahku di antara papan rumah sehingga tatapanku menembus dalam rumah. Disana terdapat sekitar delapan orang yang duduk melingkar. Di tengah-tengah terdapat beberapa sajian-sajian aneh, yang aku tahu hanya kemenyan yang dibakar. Seketika itu juga baunya menyerbak. Ini bau kemenyan yang selalu menjadi santapan malam kami, pikirku. Aku terus menonton dengan seksama. Pak Karsono dengan wanita itu masuk memenuhi lingkaran yang tersisa.
Sekarang mereka berpegangan tangan satu sama lain sambil memejamkan mata. Si wanita komat kamit membacakan mantra yang sepertinya berasal dari bahasa ibrani, atau apalah, aku tak tahu. Beberapa menit kemudian Pak Karsono menambahkan salah satu benda lagi ke dalam sajian yang berada di tengah. Aku bisa melihat itu beberapa helai rambut yang sudah mulai beruban. Aku syok. Pikiranku mulai tak karuan. Ritual ini nampak sangat mengerikan, tapi aku masih memperhatikan. Dia kemudian menambahkan beberapa tulang kecil – aku rasa itu tulang ayam – ke pembakaran. Aaah, baunya sangat tidak enak. Aku menutup hidungku walau tak mau melewatkan pertunjukan ini sedetikpun.
     Lama-kelamaan tangan mereka terlepas dan mulai menyerukan sesuatu secara bersamaan. Tangan mereka seperti menyembah. Naik. Turun. Naik. Turun. Ketika mereka semua diam, si wanita membaca mantra, dan yang lain mengikuti. Pak Karsono memotong rambutnya dengan pisau yang sudah berlumuran  darah dari tempurung berisi cairan yang ada di depannya, dia kemudian maju ke depan dan membakar rambutnya di tempat yang sama ketika dia membakar rambut yang pertama. Bau aneh dan menjijikkan kembali menyeruak. Kemudian dia mengeluarkan selembar foto dari sakunya. Aku kaget bukan main. Adrenalinku berpacu sangat keras. Amarahku membuncah. uratku seakan ingin tanggal dari wajahku. Aku mengepalkan tangan. Ingin rasanya aku membakar rumah ini hingga habis tak berkeping menjadi debu. Dalam sekejap itu juga si wanita tua memalingkan wajahnya padaku, seperti mengetahui keberadaanku. Dia mengunci padanganku. Aku tak bisa bergerak. Hanya saja karena keinginanku yang kuat, aku akhirnya bisa berlari sekencang-kencangnya dan membunyikan pentungan. Tak berapa lama desa tumpah menjadi tak terkendali.
                                                                                ***
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri” Aku berteriak sekencang yang kubisa, warga desa memperhatikanku dengan seksama, membentuk lingkaran yang membuatku sesak untuk bernafas.
“PAK KARSONO ITU IBLIS!”
       Wajah mereka antara percaya atau tidak. Sebagian ada yang prihatin, menggeleng-gelengkan kepala dan menganggapku gila. Aku tak peduli. Aku hanya membayangkan betapa pedihnya siksaan yang dirasakan kakekku ketika dia menerima nujum yang dibuat oleh Pak Karsono tepat pada malam seperti ini. aku hampir menitikkan air mata. tapi aku menahannya. Aku tak mau terlihat lemah. Aku ingin memperjuangkan apa yang orang-orang itu rasakan sebagai korban iblis seperti Pak Karsono. Betapa bejatnya pemimpin di negeri ini, memperbolehkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Aku berkeringat sangat deras. Suaraku semakin serak karena tak henti-henti berteriak sejak lima belas menit yang lalu.
      Tak lama kemudian aku melihat Pak Karsono muncul dari jalan setapak dari arah rumahnya, dan membuatku heran, tapi kemudian aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Kau benar-benar setan. Aku berlari ke arahnya dan berusaha melepaskan pukulanku ke wajahnya. Tapi tertahan ketika beberapa orang kembali memukuliku dan memegangi tanganku dari belakang. Mulutku mengeluarkan darah seperti busa. Tapi aku tak berhenti, aku tetap menarik tubuhku keluar dari genggaman mereka. Uratku terlihat jelas dari bahu sampai ke lengan bawahku. Aku melihat wajah para warga. Mereka hanya terdiam, menatapku miris. Sungguh orang-orang yang menyedihkan. Kalian tak tahu apa yang terjadi dan ketika aku menceritakannya kalian malah tidak percaya.  Aku tahu mereka sudah diperdaya. Aku baru menyadari bahwa orang yang memegangiku adalah orang-orang yang berada di lingkaran tadi.
“KALIAN SEMUA IBLIS!!!” ujarku keras, sambil meludahi wajah mereka satu persatu.
Aku bisa melihat Pak Karsono tersenyum picik diantara wajahnya yang dibuat sok berwibawa itu. Ya tuhan. Aku hanya ingin memukul wajahnya sekali saja. Aku tak mengapa jika aku harus masuk penjara jika harus membunuhnya.
“Tolong amankan dia!!” orang-orang ini seperti bodyguard, langsung bergerak begitu perintah itu keluar dari mulut Pak Karsono.
“Semua, tolong tenang!!!”
Pak Karsono mulai menyeruakn pidato iblis, aku tak tahan mendengarkannya. Cukup sudah berada di bawah kekangan iblisnya selama lima tahun ini.
“Ini hanya sebuah peristiwa yang sudah sering kita alami dalam masa pemilihan, tolong semuanya kondusif karena kita besok akan menghadapi hari yang lebih besar lagi untuk desa kita ini”
Lama-kelamaan suaranya mengecil hinggal akhirnya tak terdengar. Sambil mereka memboyong tubuhku yang sekarang rasanya tak berdaya, aku melihat rumah yang ada di penghujung desa itu masih bersinar remang. Aku akhirnya menitikkan air mata. Aku tak tega membayang tubuh Pak Rusli bernasib sama dengan kakekku seperti lima tahun yang lalu. Ritual itu masih berlanjut.
                                                                        ***
Aku terbangun. Kepalaku sedikit pusing. Aku mengusapnya berulang kali. Rasanya pandanganku berputar-putar dan tak fokus. Aku mencoba mengenali dimana aku berada. Aku memejamkan mataku untuk kesekian kali, dan membukanya kembali. Masih tetap sama. Tiba-tiba aku histeris dan menjadi tak terkendali. Aku berusaha mendobrak pintu yang terbuat dari kayu yang sangat keras, melemparkan semua benda-benda tak berguna yang ada di depanku. Tak berapa lama aku mendengar suara bising dari luar : Para Warga desa.
Mereka membuka pintu yang kudobrak tadi dan membiarkanku keluar. Mereka tak berbicara sedikitpun. Aku menatap wajah mereka satu persatu. Ada yang bersedih. Ada yang menatapku seakan tidak percaya. Kulihat diantara orang-orang tersebut, berdiri Pak Rusli dengan sorban yang dikalungkan ke bahunya. Aku menarik nafas panjang. Airmataku mulai menetes. Tak berapa lama aku sudah berada di pelukannya. Isakanku semakin keras.
“Semua sudah tidak apa-apa sekarang”
Aku tak mendengarkan.
Dia melepaskan pelukannya kemudian menggiringku ke suatu tempat, diikuti oleh para warga desa. Kami tiba di depan sebuah rumah yang aku kenal : Rumah Pak Karsono. Disana, berkumpul semua warga dan aku mendengar isak tangis yang lebih keras dari isak tangisku. Aku dan Pak Rusli menerobos kerumunan. Di ruangan berukuran 3x3 meter itu, berbaring tubuh yang wajahnya merah membengkak. Tak berbeda jauh dengan kondisi kakekku ketika dia meninggal : masih ada dua pagutan, kedua tangannya menekuk tajam, lidah yang menjulur, berbuih. Didalam ini serasa seperti di neraka. Berbau busuk dan gerah. Aku menutup hidungku. Dalam hatiku aku merasa sangat puas. Mataku membelalak senang melihat dia tergolek lemah, tak berdaya dan menjijikkan.  Aku keluar dari dalam rumah dan berteriak sekencang-kencangnya sambil berteriak-teriak tak jelas. Aku tak peduli pandangan warga padaku. Aku berjalan sempoyongan. Pikiranku tak karuan. Terlalu senang melihat dia meninggal dengan sadisnya. Aku terus berjalan dan berjalan. Aku tak tahu aku harus kemana. Aku hanya terus berjalan dan terus tertawa sepanjang jalan.

    Popular Posts

    The Writer

    Foto Saya
    Medan, Sumatera Utara, Indonesia
    Why dont you just look at me and say what you want about me? Think it'll be more fun to make a bound

    Followers