08 Mei 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

The Untold Side of Fitiya

Fitiya duduk sambil memegang kedua pahanya di depan meja rias. Pahanya yang hanya ditutup oleh lingerie tipis, tampak berlinang ketika cahaya lampu kamar yang temarang menimpa. Hari ini tentu saja hari kebahagiannya. Hari ini, Alby resmi menjadi seseorang yang melindunginya, mengasihinya, menaunginya, dan menjadi segalanya bagi Fitiya.
Mereka bertemu dua tahun lalu saat sama-sama menempuh pendidikan S2 di luar negeri. Bayangkan saja betapa senangnya mendapatkan teman satu negara ketika kamu harus berjuang dengan segala sesuatu yang baru di negeri orang. Kemana-mana mereka berdua, layaknya seperti sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Tidak semudah itu untuk bisa membujuk Fitiya. Butuh beberapa bulan bagi Alby hingga akhirnya Fitiya mengataka ‘Iya’ dan resepsi pada hari inipun terjadi. Fitiya terlalu takut untuk berkomitmen. Tapi lihatlah, seharian mereka tampak bahagia, tak ada raut penyesalan di wajah Fitiya dari sejak tadi pagi hingga semua resepsi itu selesai, yang ada hanya perasaan senang dan haru. Setelah semua resepsi pernikahan yang sangat menyita waktu dan tenaga, akhirnya mereka memiliki waktu berdua sekarang. Tanpa diganggu oleh siapapun.
Perlahan Fitiya meremas kedua pahanya. Cukup lama dia hanya memandangi wajahnya di cermin. Kotak make-up di sisi meja dibiarkannya terbuka tanpa disentuh. Tangannya sedikit gemeteran. Beberapa kali dia membalik badan, memperbaiki letak lingerie di sekitar dadanya, serta memandangi kamar mandi berlapiskan kaca berbentuk tabung tempat suaminya sekarang lagi membersihkan diri. Terdengar percikan air yang memacu nafas dan adrenalinenya. Samar-samar, dia bisa melihat siluet tubuh kekar berwarna putih kecoklatan. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lehernya tertarik oleh otot-otot yang berkontraksi. Tegang. Intens. Kaku. Jarinya semakin kuat mengekang daging di pahanya. Sang suami sekarang sedang membersihkan rambutnya, menyapunya ke belakang seiringnya dengan tirisnya air dari shower. Gundukan otot di lengannya terlihat berbentuk, samar. Fitiya menelan ludah untuk kesekian kalinya.
Dia membalik tubuhnya menghadap cermin. Diliriknya kotak make-up terlantar tadi dan memungut lipstick dari dalamnya. Tak butuh waktu lama bagi Fitiya untuk mengaplikasikannya. Begitu selesai, dia melanjutkan riasan tipis di wajahnya. Perlahan dia mengambil botol parfum dan menyemprotkannya tiga kali ke lehernya, kemudian ke pergelangan tangan. Seketika itu juga aroma memikat memenuhi seluruh ruangan. Selang beberapa saat, dia mendengar tabung kaca itu terbuka. Dia terkesiap, tapi tidak menoleh ke belakang. Fitiya hanya memperbaiki cara duduknya sambil terus menatapi dirinya sendiri di dalam kaca.
“Hei…” tiba-tiba Alby datang dan langsung memeluknya dari belakang. Dadanya yang bidang langsung menyetrum punggung Fitiya yang masih tertutup lingerie. Belum semput Fitiya memberikan jawaban ‘Hei’, bibir Alby yang tipis dan renyah itu langsung menyerbu leher Fitiya. Dia menutup matanya.menikmati setiap sentuhan yang ada. Dia membukakan lehernya lebih lebar.
“Kau menunggu lama?”
“Oh.. tidak. Untukmu aku siap untuk menunggu sampai berapa lama”
“Oh..” Alby tak melepaskan pelukannya. “Kau sangat harum sekali”
“Dan kau sangat menggoda sekali menutupi tubuhku dengan tubuhmu yang setengah telanjang itu”
Alby memperhatikan tubuhnya di cermin. Rambutnya masih sangat basah dan juga bintik-bintik air masih menempel di pundaknya.
“Kau sudah bisa menggodaku sekarang”
“Kau suamiku” ujar Fitiya singkat.
“Kau suka?”
“Apanya?”
“Aku? Dalam keadaan begini?”
Fitiya ingin mengatakan iya, tapi dia masih terlalu kaku untuk mengucapkannya. Semua emosinya perlahan demi perlahan naik ke batang tenggorokannya, serasa semuanya ingin keluar seperti muntahan yang tak habis-habis.
“Kau Istriku sekarang”
“Ya. Aku tahu itu” ucapnya.
Alby tak membalas. Dia hanya menyentuh dagu Fitiya yang mungil dan mengarahkannya tepat di depan wajahnya.
“Aku mencintaimu”
Fitiya tak ingin membalasnya. Dia hanya ingin semuanya berlanjut seperti seharusnya. Dia membiarkan Alby perlahan demi perlahan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan di malam seperti ini. Malam yang sudah sangat sunyi dan sepi, malam paling indah bagi sepasang pengantin baru. Ketika lapisan kulit luar itu menyentuh bibirnya. Dia merasakan sensasi yang sangat luar biasa. Tubuhnya mengejang, tapi dia merasakan kenikmatan. Sel-selnya membesar dua kali lipat. Dan transmisi neurotransmitter di syarafnya meningkat. dia menjambak rambut Alby yang masih sedikit basah dengan perlahan. Alby membiarkannya dan menuntutnya.
Fitiya terbaring dengan lingerie itu masih melekat di badannya. Sekarang tubunya bergetar keras. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Bingung. Serba salah. Sesak nafas. Sensasi ini terlalu besar untuk dia kontrol. Raut wajahnya berubah seketika ketika otot-otot dalamnya berkontraksi membentuk wajah yang ketakutan. Fitiya meremas sprei putih sekuat tenaga. Ketegangan yang mulanya berada di lehernya merambah keseluruh tubuh. Dia mencoba untuk menyembunyikan begitu posisi alby sekarang berada di atasnya. Dia menutup matanya. Alby tak melakukan apa-apa. Tangannya bergetar sangat keras sekarang. Tenang. Tenang. Tenang. Batinnya berulang kali membisikkan kata kata tersebut. Menyentuh sisi pakaian tipis itu dan berusaha untuk mencampakkanya. Di saat itu Fitiya membuka matanya, matanya melotot sebesar bola dan urat-uratnya terlihat jelas. Dia menjerit tak karuan, tubuhnya mengejang ke kiri dan ke kanan seperti orang yang di perkosa.
                                                                        ***
“Kau kenapa?” Alby menghentikan aktifitasnya dan menatap dalam ke bola mata Fitiya yang tampak jelas ketakutan. Fitiya menutup dadanya dengan menyeret sisi lingerie berenda itu. Dia beranjak dari tempat tidur dan menyudut ke tepi ruangan, tepatnya di depan kaca yang menjadi sekat ruangan dengan lingkungan luar. Tangannya gemetaran, bola matanya liar, bibirnya tak bisa mengatup menjadi satu.
“Apa yang kau lakukan?” nada suaranya bergetar seperti senar. Keseluruhan badannya berkeringat. Satu persatu butirannya mengucur melewati dahinya yang pucat.
“Apa maksudmu?” Alby beranjak dari tempat tidur. “Kau mengetuk pintu kamarku tiba-tiba ditengah malam begini. Kau tak sadar?” Alby sekarang berjalan ke arah Fitiya dengan celana pendek yang dia kenakan. Kekasihnya itu terlihat menyedihkan.
“Aku tak tahu!”
“Apa kau tidur sambil berjalan?”
“Tidak, apa yang kurasakan terasa sangat nyata. Kau… aku….. Kau dan aku,… “ Fitiya tak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia terduduk lemas dengan jari yang gemetaran melekat di ujung bibir.
“Its Okay. Tidak apa-apa. Kau bisa tenang sekarang”
Fitiya tak berkata apa-apa. Suasana berubah hening.
“Apa kau?... Kau telah… maksudku apa kau dan aku….. “ dia  mengusap wajahnya. “Apa terjadi sesuatu antara kau dan aku?”
Alby sontak kaget kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Fitiya.
“Tidak, Fitiya. Apa yang kau pikirkan? Aku tak pernah menyentuhmu sedikitpun. Aku menghargaimu, jangan sekalipun kau meragukan hal itu”
“Jadi?”
“Kau sempat merayuku begitu sampai disini. Aku akui aku sempat tertarik  tapi kau tertidur ketika aku meninggalkanmu mandi”
Mandi. Mandi. Mandi. Kamar mandi. Dia ingat sekarang. Bayangannya itu tidak sepenuhnya hanya mimpi. Fitiya menutup matanya dan mencoba untuk mengetahui lebih dalam. Tapi yang dia rasakan hanya serangkaian denyutan yang membabi buta mneyerang kepalanya.
“Arrgh…” erangnya.
“Kau kenapa?”
Sekarang pandangannya berputar-putar. Putarannya membulat ke dalam dan menuju pada satu titik hingga semuanya lenyap.
                                                                        ***
Fitiya bangun begitu alaram berbunyi memecah keheningan subuh. Alby masih tertidur dengan pulasnya disampingnya. Diamatinya wajah suaminya itu. Matanya sayu ketika tertidur, bahkan dengan kondisi seperti ini, di mata Fitiya Alby masih seperti sesosok malaikat yang  turun dari langit dan menjemputnya ke surga. Dia mendekatkan bibirnya dan mencium kening Alby. Alby terbangun begitu menyadari bibir itu menempel di keningnya.
“Selamat pagi”
“Pagi, Hubbie!”
Mereka terdiam. Berbaring, saling bertatapan dan kepala yang menempel satu sama lain.
“Maafkan aku”  ucap Fitiya sambil mengelus pipi Alby.
“Kita bisa melakukannya lain kali. Yang penting hanya satu, kau tetap istriku dan aku tetap mencintaimu” sekarang gantian Alby yang mencium kening istrinya.
“Tapi tadi malam itu malam pertama kita…” Fitiya diam sesaat “Dan aku menghancurkannya”
“Sssst….” Alby menempelkan telunjuknya di bibir Fitiya.
“Jangan berkata apa-apa lagi. Suasana seperti ini sangat menyenangkan” Alby mendekap Fitiya ke dadanya. “Kita seperti ini saja. Aku menyukainya”
Fitiya melekatkan telapak tangannya ke dada Alby. Elusan tangan Alby di atas rambut acaknya membawa semangat pagi. Fitiya bisa merasakan ketulusan yang dalam dari apa yang di perolah sekarang ini : Pelukan pagi dari sang suami. Fitiya menyadari kenapa alby menginginkan mereka tetap dalam keadaan seperti ini.
“Aku mencintaimu, Fitiya”
Fitiya menatap mata Alby.
“Dan jika kau tak bisa memperbaiki dirimu tentang hal itu, aku bisa memperbaikimu dengan semua yang aku punya”
Fitiya meneteskan airmata. Dia mulai membenci dirinya dengan ketakutannya itu. Dia membenci phobianya. Dia rusak. Fitiya sadar kalau dia rusak. Dia tak seharusnya membiarkan ketakutan itu menggerogotinya perlahan demi perlahan, sedikit demi sedikit. Lihat apa yang dia timbulkan. Alby menderita karenanya, dan jika ini tetap berlangsung, kebahagian apa yang akan dia berikan pada Alby jika dia sendiri tidak bisa memberikan dirinya sepenuhnya? Alby tak akan bahagia. Alby tak akan bahagia. Alby mneginginkan dirinya keseluruhannya, bukan setengah-setengah seperti ini. Alby tidak hanya menginginkan hatinya, dia menginginkan hal lainnya. Air matanya semakin deras, tapi dia hanya diam tak terisak. Mungkin tertelan masuk ke dalam jiwanya yang malang itu. Bukan seperti ini tumah tangga yang dia inginkan, tapi itu semua terjadi juga karena dirinya.
“Kita bisa memperbaikimu” percakapan pagi itu selesai sampai disitu. Tak ada kata yang terucap lagi dari mulut mereka. Matahari pagi mulai memancarkan sinar dan masuk kedalam ruangan melalui celah kaca. Merekatak peduli. Mereka tetap dalam keadaan mereka : dalam balutan selimut dan menghangatkan satu sama lain dengan pelukan mereka.
                                                                        ***
Dia berjalan sendiri di lorong kampus sambil terus berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam. Mahasiswa-mahasiswa lain berlalu lalang tak menghiraukannya. Banyak yang bercengkrama satu sama lain di depan loker masing-masing. Fitiya tak peduli. Dia hanya mematung di depan lokernya dan tak membuka.perlahan dari ujung barat Alby muncul dengan jaket varsity yang biasa dia kenakan.Tasnya menggantung di bahu kanannya. Dia memang sempurna. Fitiya memandangin terus menerus, sampai Alby sampai di hadapannya. Mata mereka terikat. Dengan tinggi yang hampir sama, visualisasi pandangan itu seperti menghantarkan aliran listrik bolak balik.
“Kau tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja” jawab Fitiya. Sekarang semuanya baik-baik saja.
“Kau tidak memikirkan kejadian tadi malam,kan?”
Fitiya menggeleng.
“Kau percaya padaku?” ujar Alby dengan raut wajah yang sulit dideskripsikan.
“Yah, kau pacarku, satu-satunya pacarku dan akan selalu begitu.”
“Jadi kau siap menerima ini?”
 Alby mengeluarkan kotak merah dari dalam sakunya. Fitiya tertegun. Dia menelan ludahnya hingga suaranya terdengar. Perasaannya bercampur aduk.
“Kau mau menikah denganku?”
Fitiya diam. Dia tak langsung menjawab iya. dia tak bisa merespon jiwanya terlalu banyak aksi disana.
“Kau… kau … kau serius?”
“Yah”
“Bagaimana dengan kuliah?”
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu”
Kata ‘iya’ itu tertohok di tenggorokannya walaupun ia ingin sekali mengatakannya. Seketika itu juga bayangan mimpi-mimpinya, ketakutannya, phobianya menguasai dirinya. Fitiya rusak. Dia menyadarinya. Dia tahu dia tak akan bisa membahagiakan Alby,dan dia tak ingin mimpinya itu menjadi kenyataan. Dia  berlari sekencang mungkin meninggalkan Alby tanpa jawaban. Isak tangisnya terdengar sangat keras, dan terlihat sangat deras.



*) Coitophobia atau Genophobia adalah salah satu jenis phobia yang bisa dialami oleh laki-laki atau perempuan dimana penderita mengalami ketakutan berlebihan terhadap hubungan badan atau seksual.

    Popular Posts

    The Writer

    Foto Saya
    Medan, Sumatera Utara, Indonesia
    Why dont you just look at me and say what you want about me? Think it'll be more fun to make a bound

    Followers