Fitiya duduk sambil
memegang kedua pahanya di depan meja rias. Pahanya yang hanya ditutup oleh
lingerie tipis, tampak berlinang ketika cahaya lampu kamar yang temarang
menimpa. Hari ini tentu saja hari kebahagiannya. Hari ini, Alby resmi menjadi
seseorang yang melindunginya, mengasihinya, menaunginya, dan menjadi segalanya
bagi Fitiya.
Mereka bertemu dua
tahun lalu saat sama-sama menempuh pendidikan S2 di luar negeri. Bayangkan saja
betapa senangnya mendapatkan teman satu negara ketika kamu harus berjuang
dengan segala sesuatu yang baru di negeri orang. Kemana-mana mereka berdua,
layaknya seperti sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Mereka akhirnya
memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Tidak semudah itu untuk
bisa membujuk Fitiya. Butuh beberapa bulan bagi Alby hingga akhirnya Fitiya
mengataka ‘Iya’ dan resepsi pada hari inipun terjadi. Fitiya terlalu takut
untuk berkomitmen. Tapi lihatlah, seharian mereka tampak bahagia, tak ada raut
penyesalan di wajah Fitiya dari sejak tadi pagi hingga semua resepsi itu
selesai, yang ada hanya perasaan senang dan haru. Setelah semua resepsi
pernikahan yang sangat menyita waktu dan tenaga, akhirnya mereka memiliki waktu
berdua sekarang. Tanpa diganggu oleh siapapun.
Perlahan Fitiya meremas
kedua pahanya. Cukup lama dia hanya memandangi wajahnya di cermin. Kotak
make-up di sisi meja dibiarkannya terbuka tanpa disentuh. Tangannya sedikit
gemeteran. Beberapa kali dia membalik badan, memperbaiki letak lingerie di
sekitar dadanya, serta memandangi kamar mandi berlapiskan kaca berbentuk tabung
tempat suaminya sekarang lagi membersihkan diri. Terdengar percikan air yang
memacu nafas dan adrenalinenya. Samar-samar, dia bisa melihat siluet tubuh
kekar berwarna putih kecoklatan. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lehernya
tertarik oleh otot-otot yang berkontraksi. Tegang. Intens. Kaku. Jarinya
semakin kuat mengekang daging di pahanya. Sang suami sekarang sedang
membersihkan rambutnya, menyapunya ke belakang seiringnya dengan tirisnya air
dari shower. Gundukan otot di lengannya terlihat berbentuk, samar. Fitiya
menelan ludah untuk kesekian kalinya.
Dia membalik tubuhnya
menghadap cermin. Diliriknya kotak make-up terlantar tadi dan memungut lipstick
dari dalamnya. Tak butuh waktu lama bagi Fitiya untuk mengaplikasikannya.
Begitu selesai, dia melanjutkan riasan tipis di wajahnya. Perlahan dia
mengambil botol parfum dan menyemprotkannya tiga kali ke lehernya, kemudian ke
pergelangan tangan. Seketika itu juga aroma memikat memenuhi seluruh ruangan.
Selang beberapa saat, dia mendengar tabung kaca itu terbuka. Dia terkesiap,
tapi tidak menoleh ke belakang. Fitiya hanya memperbaiki cara duduknya sambil
terus menatapi dirinya sendiri di dalam kaca.
“Hei…” tiba-tiba Alby
datang dan langsung memeluknya dari belakang. Dadanya yang bidang langsung
menyetrum punggung Fitiya yang masih tertutup lingerie. Belum semput Fitiya
memberikan jawaban ‘Hei’, bibir Alby yang tipis dan renyah itu langsung
menyerbu leher Fitiya. Dia menutup matanya.menikmati setiap sentuhan yang ada. Dia
membukakan lehernya lebih lebar.
“Kau menunggu lama?”
“Oh.. tidak. Untukmu
aku siap untuk menunggu sampai berapa lama”
“Oh..” Alby tak
melepaskan pelukannya. “Kau sangat harum sekali”
“Dan kau sangat
menggoda sekali menutupi tubuhku dengan tubuhmu yang setengah telanjang itu”
Alby memperhatikan
tubuhnya di cermin. Rambutnya masih sangat basah dan juga bintik-bintik air
masih menempel di pundaknya.
“Kau sudah bisa
menggodaku sekarang”
“Kau suamiku” ujar
Fitiya singkat.
“Kau suka?”
“Apanya?”
“Aku? Dalam keadaan begini?”
Fitiya ingin mengatakan
iya, tapi dia masih terlalu kaku untuk mengucapkannya. Semua emosinya perlahan
demi perlahan naik ke batang tenggorokannya, serasa semuanya ingin keluar
seperti muntahan yang tak habis-habis.
“Kau Istriku sekarang”
“Ya. Aku tahu itu”
ucapnya.
Alby tak membalas. Dia
hanya menyentuh dagu Fitiya yang mungil dan mengarahkannya tepat di depan
wajahnya.
“Aku mencintaimu”
Fitiya tak ingin
membalasnya. Dia hanya ingin semuanya berlanjut seperti seharusnya. Dia
membiarkan Alby perlahan demi perlahan melakukan apa yang seharusnya dia
lakukan di malam seperti ini. Malam yang sudah sangat sunyi dan sepi, malam
paling indah bagi sepasang pengantin baru. Ketika lapisan kulit luar itu
menyentuh bibirnya. Dia merasakan sensasi yang sangat luar biasa. Tubuhnya
mengejang, tapi dia merasakan kenikmatan. Sel-selnya membesar dua kali lipat.
Dan transmisi neurotransmitter di syarafnya meningkat. dia menjambak rambut
Alby yang masih sedikit basah dengan perlahan. Alby membiarkannya dan
menuntutnya.
Fitiya terbaring dengan
lingerie itu masih melekat di badannya. Sekarang tubunya bergetar keras. Dia
tak tahu apa yang harus dilakukan. Bingung. Serba salah. Sesak nafas. Sensasi
ini terlalu besar untuk dia kontrol. Raut wajahnya berubah seketika ketika otot-otot
dalamnya berkontraksi membentuk wajah yang ketakutan. Fitiya meremas sprei
putih sekuat tenaga. Ketegangan yang mulanya berada di lehernya merambah
keseluruh tubuh. Dia mencoba untuk menyembunyikan begitu posisi alby sekarang
berada di atasnya. Dia menutup matanya. Alby tak melakukan apa-apa. Tangannya
bergetar sangat keras sekarang. Tenang. Tenang. Tenang. Batinnya berulang kali
membisikkan kata kata tersebut. Menyentuh sisi pakaian tipis itu dan berusaha
untuk mencampakkanya. Di saat itu Fitiya membuka matanya, matanya melotot
sebesar bola dan urat-uratnya terlihat jelas. Dia menjerit tak karuan, tubuhnya
mengejang ke kiri dan ke kanan seperti orang yang di perkosa.
***
“Kau kenapa?” Alby
menghentikan aktifitasnya dan menatap dalam ke bola mata Fitiya yang tampak
jelas ketakutan. Fitiya menutup dadanya dengan menyeret sisi lingerie berenda
itu. Dia beranjak dari tempat tidur dan menyudut ke tepi ruangan, tepatnya di
depan kaca yang menjadi sekat ruangan dengan lingkungan luar. Tangannya gemetaran,
bola matanya liar, bibirnya tak bisa mengatup menjadi satu.
“Apa yang kau lakukan?”
nada suaranya bergetar seperti senar. Keseluruhan badannya berkeringat. Satu
persatu butirannya mengucur melewati dahinya yang pucat.
“Apa maksudmu?” Alby
beranjak dari tempat tidur. “Kau mengetuk pintu kamarku tiba-tiba ditengah
malam begini. Kau tak sadar?” Alby sekarang berjalan ke arah Fitiya dengan
celana pendek yang dia kenakan. Kekasihnya itu terlihat menyedihkan.
“Aku tak tahu!”
“Apa kau tidur sambil
berjalan?”
“Tidak, apa yang
kurasakan terasa sangat nyata. Kau… aku….. Kau dan aku,… “ Fitiya tak bisa
melanjutkan kata-katanya. Dia terduduk lemas dengan jari yang gemetaran melekat
di ujung bibir.
“Its Okay. Tidak
apa-apa. Kau bisa tenang sekarang”
Fitiya tak berkata
apa-apa. Suasana berubah hening.
“Apa kau?... Kau telah…
maksudku apa kau dan aku….. “ dia
mengusap wajahnya. “Apa terjadi sesuatu antara kau dan aku?”
Alby sontak kaget
kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Fitiya.
“Tidak, Fitiya. Apa
yang kau pikirkan? Aku tak pernah menyentuhmu sedikitpun. Aku menghargaimu,
jangan sekalipun kau meragukan hal itu”
“Jadi?”
“Kau sempat merayuku
begitu sampai disini. Aku akui aku sempat tertarik tapi kau tertidur ketika aku meninggalkanmu
mandi”
Mandi. Mandi. Mandi.
Kamar mandi. Dia ingat sekarang. Bayangannya itu tidak sepenuhnya hanya mimpi.
Fitiya menutup matanya dan mencoba untuk mengetahui lebih dalam. Tapi yang dia
rasakan hanya serangkaian denyutan yang membabi buta mneyerang kepalanya.
“Arrgh…” erangnya.
“Kau kenapa?”
Sekarang pandangannya
berputar-putar. Putarannya membulat ke dalam dan menuju pada satu titik hingga
semuanya lenyap.
***
Fitiya bangun begitu
alaram berbunyi memecah keheningan subuh. Alby masih tertidur dengan pulasnya
disampingnya. Diamatinya wajah suaminya itu. Matanya sayu ketika tertidur,
bahkan dengan kondisi seperti ini, di mata Fitiya Alby masih seperti sesosok
malaikat yang turun dari langit dan
menjemputnya ke surga. Dia mendekatkan bibirnya dan mencium kening Alby. Alby
terbangun begitu menyadari bibir itu menempel di keningnya.
“Selamat pagi”
“Pagi, Hubbie!”
Mereka terdiam.
Berbaring, saling bertatapan dan kepala yang menempel satu sama lain.
“Maafkan aku” ucap Fitiya sambil mengelus pipi Alby.
“Kita bisa melakukannya
lain kali. Yang penting hanya satu, kau tetap istriku dan aku tetap
mencintaimu” sekarang gantian Alby yang mencium kening istrinya.
“Tapi tadi malam itu
malam pertama kita…” Fitiya diam sesaat “Dan aku menghancurkannya”
“Sssst….” Alby
menempelkan telunjuknya di bibir Fitiya.
“Jangan berkata apa-apa
lagi. Suasana seperti ini sangat menyenangkan” Alby mendekap Fitiya ke dadanya.
“Kita seperti ini saja. Aku menyukainya”
Fitiya melekatkan
telapak tangannya ke dada Alby. Elusan tangan Alby di atas rambut acaknya
membawa semangat pagi. Fitiya bisa merasakan ketulusan yang dalam dari apa yang
di perolah sekarang ini : Pelukan pagi dari sang suami. Fitiya menyadari kenapa
alby menginginkan mereka tetap dalam keadaan seperti ini.
“Aku mencintaimu,
Fitiya”
Fitiya menatap mata
Alby.
“Dan jika kau tak bisa
memperbaiki dirimu tentang hal itu, aku bisa memperbaikimu dengan semua yang
aku punya”
Fitiya meneteskan
airmata. Dia mulai membenci dirinya dengan ketakutannya itu. Dia membenci
phobianya. Dia rusak. Fitiya sadar kalau dia rusak. Dia tak seharusnya
membiarkan ketakutan itu menggerogotinya perlahan demi perlahan, sedikit demi
sedikit. Lihat apa yang dia timbulkan. Alby menderita karenanya, dan jika ini
tetap berlangsung, kebahagian apa yang akan dia berikan pada Alby jika dia
sendiri tidak bisa memberikan dirinya sepenuhnya? Alby tak akan bahagia. Alby tak
akan bahagia. Alby mneginginkan dirinya keseluruhannya, bukan setengah-setengah
seperti ini. Alby tidak hanya menginginkan hatinya, dia menginginkan hal
lainnya. Air matanya semakin deras, tapi dia hanya diam tak terisak. Mungkin
tertelan masuk ke dalam jiwanya yang malang itu. Bukan seperti ini tumah tangga
yang dia inginkan, tapi itu semua terjadi juga karena dirinya.
“Kita bisa
memperbaikimu” percakapan pagi itu selesai sampai disitu. Tak ada kata yang
terucap lagi dari mulut mereka. Matahari pagi mulai memancarkan sinar dan masuk
kedalam ruangan melalui celah kaca. Merekatak peduli. Mereka tetap dalam
keadaan mereka : dalam balutan selimut dan menghangatkan satu sama lain dengan
pelukan mereka.
***
Dia berjalan sendiri di
lorong kampus sambil terus berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam.
Mahasiswa-mahasiswa lain berlalu lalang tak menghiraukannya. Banyak yang
bercengkrama satu sama lain di depan loker masing-masing. Fitiya tak peduli.
Dia hanya mematung di depan lokernya dan tak membuka.perlahan dari ujung barat
Alby muncul dengan jaket varsity yang biasa dia kenakan.Tasnya menggantung di
bahu kanannya. Dia memang sempurna. Fitiya memandangin terus menerus, sampai
Alby sampai di hadapannya. Mata mereka terikat. Dengan tinggi yang hampir sama,
visualisasi pandangan itu seperti menghantarkan aliran listrik bolak balik.
“Kau tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja”
jawab Fitiya. Sekarang semuanya baik-baik saja.
“Kau tidak memikirkan
kejadian tadi malam,kan?”
Fitiya menggeleng.
“Kau percaya padaku?”
ujar Alby dengan raut wajah yang sulit dideskripsikan.
“Yah, kau pacarku,
satu-satunya pacarku dan akan selalu begitu.”
“Jadi kau siap menerima
ini?”
Alby mengeluarkan kotak merah dari dalam
sakunya. Fitiya tertegun. Dia menelan ludahnya hingga suaranya terdengar.
Perasaannya bercampur aduk.
“Kau mau menikah
denganku?”
Fitiya diam. Dia tak
langsung menjawab iya. dia tak bisa merespon jiwanya terlalu banyak aksi
disana.
“Kau… kau … kau
serius?”
“Yah”
“Bagaimana dengan
kuliah?”
“Aku hanya ingin
menghabiskan waktu bersamamu”
Kata ‘iya’ itu tertohok
di tenggorokannya walaupun ia ingin sekali mengatakannya. Seketika itu juga
bayangan mimpi-mimpinya, ketakutannya, phobianya menguasai dirinya. Fitiya
rusak. Dia menyadarinya. Dia tahu dia tak akan bisa membahagiakan Alby,dan dia
tak ingin mimpinya itu menjadi kenyataan. Dia
berlari sekencang mungkin meninggalkan Alby tanpa jawaban. Isak
tangisnya terdengar sangat keras, dan terlihat sangat deras.
*) Coitophobia atau Genophobia
adalah salah satu jenis phobia yang bisa dialami oleh laki-laki atau perempuan
dimana penderita mengalami ketakutan berlebihan terhadap hubungan badan atau
seksual.
0 komentar:
Posting Komentar