Seperti
biasa aku selalu pulang malam dari kedai remang-remang yang ada di ujung desa.
Butuh sekitar 15 menit melewati semak belukar yang terlihat menyeramkan – yang
sedang kulalui sekarang – untuk sampai ke rumahku. Sarung yang tadinya
menyelempang di bahuku, sekarang sudah menutupi hampir keseluruhan tubuhku.
Buluku bergidik. Dalam kondisi seperti ini biasa pikiran-pikiran tak waras selalu
muncul. Tentu kau tahu maksudku. Di desa seperti desa tempatku tinggal
cerita-cerita mistis itu masih membudaya. Diturunkan dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Siapa yang tidak tahu, bahwa dulu di hutan kecil ini
pernah seorang wanita gantung diri, tepat di salah satu ranting pohon beringin
yang menjorok ke jalan setapak, dimana aku sekarang berada.
Aku
mempercepat langkahku, buluku semakin merinding serasa ingin meloncat keluar
dari pori. Hanya derap langkahku yang terdengar sepanjang lima meter ke depan.
Aku tak mau melihat ke belakang, perasaanku mulai was-was. Aku tak pernah
setakut ini sebelumnya. Aku sering melewati jalan ini, tapi entah kenapa malam
ini rasanya berbeda. Mungkin karena ini malam jum’at. Aaah.. aku tak mau memikirkannya. Aku melihat
lurus ke depan ketika dalam jarak sekitar delapan langkah lagi aku melihat
cahaya temaram dari lampu sumbu yang selalu dinyalakan di bibir desa. Begitu
sampai disana, aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Aku bisa lega
sekarang.
Desa
kami dalam masa pemilihan kepala desa. Biasanya dalam masa-masa seperti ini
ronda malam lebih diaktifkan karena kejadian lima tahun lalu. Aku tak ingin
menceritakannya, kami menyebutnya rahasia desa yang tidak boleh diceritakan
pada orang luar. Kepala desa ditentukan berdasarkan musyawarah kepala keluarga,
dan kegiatan rutin selalu dilakukan tengah malam di malam jumat untuk mencegah
sesuatu yang tidak diinginkan terjadi ketika masa pemilihan. Semacam ritual,
yang hanya diikuti oleh orang-orang tertentu. Hanya itu yang aku tahu. Hanya
itu juga yang warga desa tahu. Kami tak ingin mengungkitnya, walaupun aku
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan berjalannya ritual tersebut.
Yaah,
aku ternyata tetap harus menceritakannya. Lima tahun yang lalu, ketika aku
masih berumur 15 tahun, kakekku mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat.
Hanya saja dia bernasib terlalu malang. Keesokan harinya pemilihan, dia meninggal di kamarnya dengan keadaan yang
sangat janggal. Sebagian tubuhnya terjungkal dari tempat tidur ke lantai,
dengan lidah menjulur, dan mata yang membengkak, serasa urat2nya keluar
berwarna merah mengelilingin lensa matanya. Di sisi lehernya tertancap dua
pasang pagutan, sebelah kiri dan kanan. Anehnya warga desa tidak melihat itu
sebagai sesuatu yang janggal, mereka hanya beranggapan bahwa ini adalah kutukan
desa karena desa kami didirikan di atas tanah terlarang – katanya, yang aku
sama sekali tidak mempercayainya – dan juga desa kami dikelilingi oleh
tempat-tempat mistis, seperti sarangnya para roh-roh gaib. Jika kau hanya
seorang awam, yang tak mengenal seluk-beluk desa, kau hanya akan dibuat
merinding olehnya, karena lihat saja, desa kami memang dikelilingi hutan yang
lebat yang untuk melewatinya saja bulu kudukmu sudah berdiri setinggi gedung.
Sejak kejadian itulah dimulai ritual ini, sedikit untuk mengurangi kutukan desa
kami. Tapi tetap saja kejadian itu tetap
terjadi setiap tahunnya ketika masa pemilihan kepala desa, dengan variasi
kematian yang berbeda-beda, yang tentu saja selalu mengerikan membuat bulu
bergidik. Hal ini juga yang menyebabkan desa kami dipimpin oleh kepala desa
tunggal selama lima tahun terakhir ini, Pak Karsono.
Tahun
ini dia mencalonkan diri lagi, bersaing dengan Pak Rusli yang notabene seorang
pemuka agama. Aku selalu berpikir kenapa dia selalu memenangkan pemilihan. Aku
bosan dengan dia, tapi sepertinya warga tidak menyadari hal tersebut, mereka
seperti disihir. Mereka buta, tak bisa melihat. Mereka semua tuli, tak bisa
mendengar. Aku tak mau mendengar
kematian yang lain lagi besok, sudah terlalu basi menurutku.
“Bagaimana?
Kau sudah mempersiapkan semuanya?”
Aku
mendengar derap langkah dari arah timur. Langkah mereka yang berat terdengar
keras menyeret batu-batu kasar yang menyusun jalan setapak.
“Semua
sudah siap. Seperti biasa. Aku menyiapkan semua yang kau minta. Mereka
menunggumu untuk memulai ritual ”
Aku
sontak tertarik mendengar kata ritual. Kesempatan bagiku untuk melihat
bagaimana sebenarnya acara ritual malam jum’at itu dijalankan. Perasaan bangga
berkelabat di dadaku jika nantinya aku berhasil menjadi satu-satunya orang desa
yang mengetahui ritual itu, selain para anggota tetap yang menjalankan ritual.
Aku bersembunyi di antara semak belukar yang agak tinggi. Derap langkah itu
terdengar semakin mendekat. Aku menyiapkan mataku di antara lobang-lobang kecil
yang terbentuk diantara daun-daun yang saling berhimpit.
Wajah
mereka berdua kini terlihat sangat jelas ketika mereka lewat tepat di
hadapanku. Aku mengenal salah satu dari mereka, Pak Karsono, dengan peci hitam
yang selalu dia kenakan. Dia bersama seorang wanita yang kelihatan jauh lebih
tua darinya. Aku
mengikuti mereka dari jauh. Desa ini cukup kecil, sehingga aku tahu mereka
bergerak ke arah mana walaupun dari jarak jauh. Sepanjang perjalanan aku
bertanya-tanya siapa wanita yang dia bawa itu. Aku tak pernah melihatnya muncul
di desa walau hanya sekali. Wajahnya juga sangat asing. Aku tak mungkin tak
mengenali orang yang tinggal disini. Aku terus bergerak mengikuti mereka,
hingga mereka berhenti di salah satu rumah yang ada di penghujung desa. Rumah
ini satu-satunya rumah yang ada disini. Di
bagian lain, rumah hanya berjarak sekitar satu meter-an. Lampu sumbu terlihat menyala memenuhi
ruangan. Aku mendekat sambil berjangkit agar langkahku tidak terdengar.
Aku
berdiam disisi rumah dan menempelkan wajahku di antara papan rumah sehingga
tatapanku menembus dalam rumah. Disana terdapat sekitar delapan orang yang
duduk melingkar. Di tengah-tengah terdapat beberapa sajian-sajian aneh, yang
aku tahu hanya kemenyan yang dibakar. Seketika itu juga baunya menyerbak. Ini
bau kemenyan yang selalu menjadi santapan malam kami, pikirku. Aku terus
menonton dengan seksama. Pak Karsono dengan wanita itu masuk memenuhi lingkaran
yang tersisa.
Sekarang
mereka berpegangan tangan satu sama lain sambil memejamkan mata. Si wanita
komat kamit membacakan mantra yang sepertinya berasal dari bahasa ibrani, atau
apalah, aku tak tahu. Beberapa menit kemudian Pak Karsono menambahkan salah
satu benda lagi ke dalam sajian yang berada di tengah. Aku bisa melihat itu
beberapa helai rambut yang sudah mulai beruban. Aku syok. Pikiranku mulai tak
karuan. Ritual ini nampak sangat mengerikan, tapi aku masih memperhatikan. Dia
kemudian menambahkan beberapa tulang kecil – aku rasa itu tulang ayam – ke pembakaran.
Aaah, baunya sangat tidak enak. Aku menutup hidungku walau tak mau melewatkan
pertunjukan ini sedetikpun.
Lama-kelamaan
tangan mereka terlepas dan mulai menyerukan sesuatu secara bersamaan. Tangan
mereka seperti menyembah. Naik. Turun. Naik. Turun. Ketika mereka semua diam,
si wanita membaca mantra, dan yang lain mengikuti. Pak Karsono memotong
rambutnya dengan pisau yang sudah berlumuran
darah dari tempurung berisi cairan yang ada di depannya, dia kemudian
maju ke depan dan membakar rambutnya di tempat yang sama ketika dia membakar
rambut yang pertama. Bau aneh dan menjijikkan kembali menyeruak. Kemudian dia
mengeluarkan selembar foto dari sakunya. Aku kaget bukan main. Adrenalinku
berpacu sangat keras. Amarahku membuncah. uratku seakan ingin tanggal dari
wajahku. Aku mengepalkan tangan. Ingin rasanya aku membakar rumah ini hingga habis
tak berkeping menjadi debu. Dalam sekejap itu juga si wanita tua memalingkan
wajahnya padaku, seperti mengetahui keberadaanku. Dia mengunci padanganku. Aku
tak bisa bergerak. Hanya saja karena keinginanku yang kuat, aku akhirnya bisa
berlari sekencang-kencangnya dan membunyikan pentungan. Tak berapa lama desa
tumpah menjadi tak terkendali.
***
“Aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri” Aku
berteriak sekencang yang kubisa, warga desa memperhatikanku dengan seksama,
membentuk lingkaran yang membuatku sesak untuk bernafas.
“PAK
KARSONO ITU IBLIS!”
Wajah
mereka antara percaya atau tidak. Sebagian ada yang prihatin,
menggeleng-gelengkan kepala dan menganggapku gila. Aku tak peduli. Aku hanya
membayangkan betapa pedihnya siksaan yang dirasakan kakekku ketika dia menerima
nujum yang dibuat oleh Pak Karsono tepat pada malam seperti ini. aku hampir
menitikkan air mata. tapi aku menahannya. Aku tak mau terlihat lemah. Aku ingin
memperjuangkan apa yang orang-orang itu rasakan sebagai korban iblis seperti Pak
Karsono. Betapa bejatnya pemimpin di negeri ini, memperbolehkan segala cara
untuk merebut kekuasaan. Aku berkeringat sangat deras. Suaraku semakin serak
karena tak henti-henti berteriak sejak lima belas menit yang lalu.
Tak
lama kemudian aku melihat Pak Karsono muncul dari jalan setapak dari arah
rumahnya, dan membuatku heran, tapi kemudian aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
Kau benar-benar setan. Aku berlari ke
arahnya dan berusaha melepaskan pukulanku ke wajahnya. Tapi tertahan ketika
beberapa orang kembali memukuliku dan memegangi tanganku dari belakang. Mulutku
mengeluarkan darah seperti busa. Tapi aku tak berhenti, aku tetap menarik
tubuhku keluar dari genggaman mereka. Uratku terlihat jelas dari bahu sampai ke
lengan bawahku. Aku melihat wajah para warga. Mereka hanya terdiam, menatapku
miris. Sungguh orang-orang yang menyedihkan. Kalian tak tahu apa yang terjadi
dan ketika aku menceritakannya kalian malah tidak percaya. Aku tahu mereka sudah diperdaya. Aku baru
menyadari bahwa orang yang memegangiku adalah orang-orang yang berada di
lingkaran tadi.
“KALIAN
SEMUA IBLIS!!!” ujarku keras, sambil meludahi wajah mereka satu persatu.
Aku
bisa melihat Pak Karsono tersenyum picik diantara wajahnya yang dibuat sok
berwibawa itu. Ya tuhan. Aku hanya ingin memukul wajahnya sekali saja. Aku tak
mengapa jika aku harus masuk penjara jika harus membunuhnya.
“Tolong
amankan dia!!” orang-orang ini seperti bodyguard, langsung bergerak begitu
perintah itu keluar dari mulut Pak Karsono.
“Semua,
tolong tenang!!!”
Pak
Karsono mulai menyeruakn pidato iblis, aku tak tahan mendengarkannya. Cukup
sudah berada di bawah kekangan iblisnya selama lima tahun ini.
“Ini
hanya sebuah peristiwa yang sudah sering kita alami dalam masa pemilihan,
tolong semuanya kondusif karena kita besok akan menghadapi hari yang lebih
besar lagi untuk desa kita ini”
Lama-kelamaan
suaranya mengecil hinggal akhirnya tak terdengar. Sambil mereka memboyong
tubuhku yang sekarang rasanya tak berdaya, aku melihat rumah yang ada di
penghujung desa itu masih bersinar remang. Aku akhirnya menitikkan air mata.
Aku tak tega membayang tubuh Pak Rusli bernasib sama dengan kakekku seperti
lima tahun yang lalu. Ritual itu masih berlanjut.
***
Aku
terbangun. Kepalaku sedikit pusing. Aku mengusapnya berulang kali. Rasanya
pandanganku berputar-putar dan tak fokus. Aku mencoba mengenali dimana aku
berada. Aku memejamkan mataku untuk kesekian kali, dan membukanya kembali.
Masih tetap sama. Tiba-tiba aku histeris dan menjadi tak terkendali. Aku
berusaha mendobrak pintu yang terbuat dari kayu yang sangat keras, melemparkan
semua benda-benda tak berguna yang ada di depanku. Tak berapa lama aku
mendengar suara bising dari luar : Para Warga desa.
Mereka
membuka pintu yang kudobrak tadi dan membiarkanku keluar. Mereka tak berbicara
sedikitpun. Aku menatap wajah mereka satu persatu. Ada yang bersedih. Ada yang
menatapku seakan tidak percaya. Kulihat diantara orang-orang tersebut, berdiri
Pak Rusli dengan sorban yang dikalungkan ke bahunya. Aku menarik nafas panjang.
Airmataku mulai menetes. Tak berapa lama aku sudah berada di pelukannya.
Isakanku semakin keras.
“Semua
sudah tidak apa-apa sekarang”
Aku
tak mendengarkan.
Dia
melepaskan pelukannya kemudian menggiringku ke suatu tempat, diikuti oleh para
warga desa. Kami tiba di depan sebuah rumah yang aku kenal : Rumah Pak Karsono.
Disana, berkumpul semua warga dan aku mendengar isak tangis yang lebih keras
dari isak tangisku. Aku dan Pak Rusli menerobos kerumunan. Di ruangan berukuran
3x3 meter itu, berbaring tubuh yang wajahnya merah membengkak. Tak berbeda jauh
dengan kondisi kakekku ketika dia meninggal : masih ada dua pagutan, kedua
tangannya menekuk tajam, lidah yang menjulur, berbuih. Didalam ini serasa
seperti di neraka. Berbau busuk dan gerah. Aku menutup hidungku. Dalam hatiku
aku merasa sangat puas. Mataku membelalak senang melihat dia tergolek lemah,
tak berdaya dan menjijikkan. Aku keluar
dari dalam rumah dan berteriak sekencang-kencangnya sambil berteriak-teriak tak
jelas. Aku tak peduli pandangan warga padaku. Aku berjalan sempoyongan.
Pikiranku tak karuan. Terlalu senang melihat dia meninggal dengan sadisnya. Aku
terus berjalan dan berjalan. Aku tak tahu aku harus kemana. Aku hanya terus
berjalan dan terus tertawa sepanjang jalan.