Aku
memarkirkan mobil tepat di seberang
jalan di salah satu kumpulan toko yang berjajar memanjang di sepanjang jalan.
Aku tersenyum melihat foto yang selalu kupajang di depan mobil. Diambil tiga
tahun yang lalu di hari ulang tahunku. Senyumnya yang tak pernah bisa aku
lupakan, juga tatapan matanya yang dalam. Aku membuka pintu mobil dan
mendaratkan sepatu flat-ku di jalanan yang berair. Baru turun hujan beberapa
jam yang lalu. Uap air yang mengasap ke udara masih terlihat, bau aspal juga
masih menyeruak. Aku menyisir rambutku ke belakang. Begitu aku berdiri tegap,
aku tersenyum pada pegawai parkir yang sudah tua di hadapanku.
Toko
yang ingin aku tuju tepat di seberang jalan. Bangunan berwarna coklat dengan
dinding vintage dari kayu. Katanya
disini toko kado terlengkap. Aku baru pertama kalinya kesini. Tapi kelihatanya
iya. banyak sekali pengunjung terlihat dari tempat dimana aku berdiri sekarang.
Sesuatu
berbunyi keras dari balik saku tas kecilku. Aaah.. aku lupa membuatnya dalam
mode silent. Aku buru-buru mengangkat
benda tersebut. Aku tersenyum sebelum menggeser layar ke kanan.
“Ya?”
“Siang”
“Siang”
ucapku sambal tersenyum.
“Kau
dimana?” suaranya terdengar berat, mungkin karena pengaruh sinyal.
“Aku
tak perlu memberitahumu bukan?” ujarku bercanda.
Aku
tak mungkin memberitahunya kalau aku ingin memberi kado anniversary kami yang ketiga sekalian kado untuk ulang tahunnya.
Yah, memang special. Kami berpacaran tepat di hari ulang tahunnya.
“Tentu
saja. Aku pacarmu sehidup semati. Masih ingat?” aku membayangkan bagaimana raut
wajahnya. Aku tersenyum.
Jalanan
disini masih terlihat sepi. Mungkin karena hujan. Aku tak tahu pasti. Hmmm… uap
jalanan masih mengepal menusuk hidungku.
“Maaf,
anda salah orang. Aku masih jomblo” aku terus menggodanya.
“Benarkah?
Apa aku boleh mendaftarkan diri?” dia balik menggodaku. Aku ingin melihat
wajahnya sekarang.
Aku
melangkahkan kakiku ke jalan raya. Sepatuku berdecap tiap kali aku melangkah
karena genangan air yang sepenuhnya belum kering. Di seberang sana, lewat telepon
ini dia terus mengoceh dan aku mendengarkan. Kadang aku tersenyum sendiri.
Selalu merasa bahwa aku sedang berada di awing-awang mendengarkan suaranya.
Dalam hati aku terus berkata tunggu
setelah kau mendapat surprise-ku. Aku ingin ini sebagai kejutan yang paling
indah yang dia terima. Aku sudah merencanakannya sejak dua minggu yang lalu.
Tentu saja aku tak memberitahunya. Apa artinya kejutan jika ingin diberitahu
kepada orang yang ingin kita kejutkan?
Aku
terus melangkah melewati jalan dengan tangan yang masih di telinga dan bibir
yang terus merekahkan senyuman. Tak jauh
dari posisiku, dari sudut mata kananku aku bisa melihat benda seperti
diluncurkan dengan cepat bayangannya hitam dan menghilang begitu benda itu
bergerak walau hanya sepersekian detik. Sekitar lima meter kemudian aku
mendengar bunyi yang memekakkan telinga. Berulang-ulang. Aku tak sempat
berpindah tempat ketika bagian depan benda tersebut mengenai sisi kanan lututku
begitu keras. Aku terhempas ke udara untuk beberapa detik. Tanganku terombang-ambing
dan rambutku tergerai acak. Benda mungil di tanganku melenting beberapa meter
dan aku masih mendengar suara aluminium yang berdenting. Mataku menutup begitu
aku tergeletak menyatu dengan bumi. Kepala bagian belakangku terbentur keras.
Aku tak tahu rasanya bagaimana lagi, yang aku tahu sebelum aku terhuyung, aku
mendengar suara teriakan yang begitu keras dari dalam benda mungil ditanganku
tadi. Bau aspal itu sekarang menyeruak bersama bau besi dari darah yang
bersimbah menggenangi kepalaku.
***
Aku
duduk di sebuah bangku taman dengan menyandarkan punggungku pada tangan kanan
Billy yang memelukku dari belakang. Aku mengenakan gaun putih berbahan sifon
yang simpel, dan Billy memakai kemeja hitam dengan tangan baju yang tidak
dikancing. Dia tersenyum sambil menatap jauh, sementara aku menatapinya dalam.
Dia tak memperhatikanku, aku yang memperhatikannya dengan sangat seksama. Aku akan
merindukan raut wajah ini. Aku akan merindukan senyuman ini. Aku akan
merindukan rambutnya yang disusun rapi ke kanan. Aku memperhatikan tangannya
yang berada di bahuku. Aku akan merindukan urat yang menyembul dari tangan ini.
Dadaku terasa sesak, seperti jantung dimasuki oleh stok udara yang berlebih.
“Hei”
dia tersenyum padaku.
“Hei”
balasku.
“Kau
cantik”
“Kau
keren” jawabku singkat.
“Kenapa
kau menatapku seperti itu?” senyumannya tak menghilang.
“Aku
tak tahu. Aku hanya ingin”
Dia
membelai rambutku perlahan, menyisirnya sampai ujung. Aku membiarkannya.
Sehabis itu dia mengelus pipiku. Aku menutup mata. Begitu kedua katupnya
menyatu, seperti ada cairan yang mencoba merembes.
Jangan sekarang.
“Hmmmmm”
aku menghembuskan nafas dan membuka mata. Aku melihatnya dalam. Dia masih
mengelus pipiku. Tatapannya tak bergeming walau angin datang berhembus yang
sekarang menghempaskan rambutku ke kiri dan ke kanan. Aku menelusuri matanya
sampai aku menemukan titik dimana aku tak berani untuk menelusuri lebih dalam.
“Kenapa?”
dia mengulang pertanyaannya.
Aku
menggelengkan kepala. Aku tak tahu inti pertanyaannya. Aku tak tahu ingin
menjawab apa juga.
“Kau
bahagia denganku, kan?”
Aku
mengangguk.
“Lalu
kenapa?”
Aku
tersenyum, sekarang aku juga mengelus pipinya, dan kemudian memetik rambutnya.
Aku suka melakukannya begini. Terasa damai. Rambutnya sangat halus. Aku akan
merindukan rambut ini. Aku tersenyum. Dia mendekat padaku.
“Aku
mencintaimu” bisiknya ke telingaku.
Kata-kata
itu. Aku ingin dia mengulangnya lagi. Lagi dan lagi. Aku ingin dia
mengatakannya sampai seribu kali lagi. Sekarang dia memegang kedua pipiku kuat.
Tangannya sangat halus. Aku akan merindukan tangan ini.
Aku
melihat guratan wajahnya yang berubah. Otot pipi yang belum pernah aku liat
sebelumnya. Ekspresi yang seperti ini.
Jangan
tunjukkan padaku.
Aku tersenyum. Dia harus melakukannya. Dia tak boleh
seperti ini. Perlahan aku seperti mendengar musik piano yang menenangkan. Aku
tahu ini. aku tahu lagunya. Lagu favoritku juga.
“Kau
dengar?” kataku
Dia
tak menjawab, hanya memandangiku.
“Kau
tahu ini lagu kesukaanku kan?”
Dia
mengangguk. Aku menyadari kami tak banyak bicara. Oh, tak butuh banyak bicara.
Biar saja kami menikmati suasana ini. Berdua lebih indah. Jarang menemukan
suasana yang begini untuk kencan. Aah.. biar saja aku menganggapnya kencan. Aku
berdiri dan mengembangkan kedua tanganku. Aku berbalik menghadapnya. Aku
berdiri sedangkan dia tetap duduk dengan biasa.
“Kau
tahu?”
“Apa?”
jawabnya lirih.
“Kau
hal yang terindah yang pernah ada di hidupku” Dia
terdiam.
“Jangan
menyia-nyiakan cintaku, ya?” kataku sambil berbungkuk memegang kedua pipinya.
Dia
mengangguk. Perlahan air matanya mulai deras. Bibirnya mengerut dan tak lama
kemudian semua cairan itu tumpah tak berhenti.
Jangan begini. Aku tak tega melihatmu begini. Bagaimana aku harus
meninggalkanmu jika kau terus begini?
“Tolong
jangan pergi” ucapnya dengan nada yang terbata-bata.
“Tetap
bersamaku disini. Kau tak ingat janjimu? Apa kau tak ingin menepatinya?”
Aku
tak bisa menjawabnya. Kau sudah tahu jawabannnya. Perlahan lagu itu semakin
terngiang di telingaku. Liriknya semakin menguat. Aku membuka mataku. Berat.
Sangat berat. Katupnya tertutup seperti dua belah sisi yang dilem. Aku
berjuang. Aku mengepalkan tangan kiriku agar kedua kelopak mataku terbuka. Yah.
Bagus, Anes. Sedikit lagi. Dari sedikit celah itu, samar-samar aku melihat
Billy memegang tanganku yang diinfus dengan infus darah. Kepalaku terasa berat.
Mungkin sekelumit selang sedang beradu disana. Dan juga puluhan lilitan perban.
Dia. Dia duduk dengan putus asanya disampingku. Matanya sangat sembab. Pipinya
seperti membesar. Tangannya mengepal di bibirnya menahan isakannya agar tidak
terdengar keluar dan tidak terdengar memalukan. Tangannya yang satu lagi memperdengarkan
mp3 dari iPhone-nya ke telingaku. Ini lagu yang kudengar tadi. Yah.. sekarang
terasa sedikit tenang. Alunan lagu itu terus mengalir di telingaku.
Only know you’ve been high when
you’re feeling low
Only hate the road when you missing
home
Only know you love her when you let
her go
and you let her go
Aku
merasakan tubuhku kejang. Aku tersenyum hanya membiarkannya. Aku tak ingin
berjuang lagi. Aku ingin, hanya saja aku tak sanggup berjuang lagi. Dalam hati
aku ingin mengucapkan ini padanya. Tuhan tolong biarkan aku sekali saja bisa
membuka mataku dengan sempurna untuk mengatakan ini padanya. Aku tak kuat.
Hanya tak kuat. Aku berusaha. Tapi tetap saja aku tak kuat. Aku mendengar Billy
berteriak Dokter dokter sekuat
tenaga. Dia tak melepaskan tanganku. Beberapa detik kemudian aku mendengar
pintu terbuka dengan keras. Beberapa derap langkah masuk dan menghempas-hempaskan
dadaku dengan sengatan listrik. Beberapa kali. Berpuluh kali. Billy terisak
dengan sangat kuatnya.
Aku sudah bilang jangan begini agar
kau bisa melepasku pergi.
Mereka
semua berhenti. Lagu di telingaku juga sudah habis. Semuanya sudah tenang
sekarang. Semuanya sudah bukan apa-apa lagi sekarang. Alat berbentuk microwave
di sampingku juga sudah berhenti berbunyi tiit. Sekarang bunyinya terdengar
beep dengan nada yang panjang dan garis lurus yang terus bergerak.
Selamat tinggal, Billy.
Happy 3rd anniversary,
baby.
Happy birthday.
And I feel sorry for your birthday
gift.
Aku
menutup mata. ini untuk selamanya.
Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your
heart
Cause love comes slow and it goes
so fast